Minggu, 14 Oktober 2018


Ketika APBN Membantah Adam Smith



The Invisible Hand
Bagi para penggiat ekonomi, siapa yang tidak kenal dengan Adam Smith? Seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia, yang oleh para ekonom, mendapat gelar “Founder of Modern Economics”. Bukunya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nation” (1776) adalah merupakan buku pertama yang berisi perumusan yang pasti tentang ekonomi Liberal yang bertujuan membawa kemakmuran individu dan masyarakat secara maksimum. Adam Smith mengemukakan teori bahwa mekanisme pencapaian tingkat kemakmuran dapat tercapai melalui kekuatan tangan tak terlihat (invisible hand), yaitu tanpa adanya campur tangan pemerintah, dimana mekanisme pasar akan menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien. Teori ini merupakan salah satu fondasi dalam ideologi pasar bebas yang mengunggulkan peran swasta dan mengharamkan program pemerintah, seperti pada masa pemerintahan Ronald Reagan dan Bush I di Amerika Serikat.
Namun, dalam ulasan Harvard Bussiness Review oleh Jonathan Schlefer, menyatakan dengan tegas bahwa “Invisible Hand” merupakan teori yang tidak pernah terbukti praktis hingga saat ini. Bahkan beberapa penelitian telah dilakukan untuk memodelkan invisible hand, salah satunya oleh Kenneth Arrow dan Gerrard Debreu pada tahun 1954, yang hasilnya adalah sejumlah besar kondisi yang tidak realistis, seperti informasi yang sempurna untuk semua pelaku pasar dan adanya persaingan sempurna.

Kegagalan Pasar dan Intervensi APBN
Telah lama diakui bahwa pasar tidak selalu bekerja dengan baik. Pada praktiknya, pasar menghasilkan lebih banyak untuk hal-hal tertentu (seperti polusi udara). Tetapi terlalu sedikit untuk hal-hal lainnya (seperti investasi, kesehatan, dan pendidikan), terutama hal-hal yang berkaitan dengan barang publik. Pasar juga tidak dapat mengatur dirinya sendiri. Ketidakmampuan pasar dalam mengakomodasi segala aktivitas, ekternalitas, dan proses yang terjadi di dalamnya mengakibatkan kondisi yang kerap disebut dengan istilah “Kegagalan Pasar”. Berangkat dari fakta-fakta ini, menurut Stiglitz, Pemerintah harus turut menjadi pemain di dalamnya. Terlebih lagi bagi negara berkembang yang perekenomiannya tergolong volatile
Secara garis besar, keikutsertaan pemerintah direpresentasikan melalui kebijakan fiskal, yaitu kombinasi antara pendapatan dan belanja negara dalam wujud APBN. Angka-angka yang termaktub dalam pos-pos APBN merupakan cerminan dari upaya pemerintah dalam melakukan intervensi terhadap kegagalan pasar, dengan gambaran sebagai berikut.
1.      Intervensi melalui pos pendapatan negara.
Tahukah anda? Aktivitas perekenomian kerap kali tidak memperhitungkan eksternalitas negatif sebagai input biaya. Misalnya, dalam industri rokok, pelaku pasar tidak memperhitungkan efek negatif rokok terhadap kesehatan dan mungkin kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan perkebunan tembakau. Hal ini karena pola pikir profit oriented bagi pelaku pasar untuk menjajahkan produk termurah di tengah persaingan pasar yang berlangsung. Oleh karena itu, negara hadir sebagai supervisor sekaligus regulator dengan meningkatkan tarif dan target penerimaan cukai tembakau tiap tahunnya, yang pada APBN-P 2017 sebesar Rp153,16T menjadi Rp155,4T pada APBN 2018. Terlebih pada tahun ini, Pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait pemanfaatan penerimaan cukai rokok untuk menambal defisit BPJS. Hal ini merupakan bentuk implementasi fungsi alokasi APBN untuk menciptakan efisiensi sumber daya yang tidak mampu diwujudkan oleh pasar bebas.
Selain dari upaya peningkatan penerimaan negara, terkadang untuk mengatasi kegagalan pasar, pemerintah juga melakukan kebijakan untuk menurunkan penerimaan negara di suatu sektor tertentu. Sebagai contoh, pada APBN 2017, target penerimaan perpajakan yang dipatok pemerintah sebesar Rp1489,9T lebih kecil dari target pada APBNP 2016 sebesar Rp1539,2T. Penurunan ini merupakan sinyal dari pemerintah untuk memberi momentum perkembangan bagi bisnis. Dari sisi produsen, langkah pemerintah ini akan memberi ruang fiskal (net income/EBT) yang lebih luas bagi korporat untuk berekspansi. Di lain pihak, bagi konsumen, pengurangan target pajak akan memberi sinyal peningkatan daya beli mereka pada tahun berjalan. Terlebih lagi, pada tahun 2016, Pemerintah meningkatkan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar 50% menjadi Rp4,5juta per bulan yang makin memberi ruang terbuka bagi peningkatan belanja individu. Secara akumulatif, langkah penurunan target pajak yang dilakukan pemerintah ini semata-mata untuk mengerek pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan pasar agar lebih berkembang dan kondusif bagi investasi. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan apabila pasar bertindak bebas.    
2.   Intervensi melalui pos belanja negara.
Melalui pos belanja negara, pemerintah terus memantau dan mengintervensi pasar apabila dirasa perlu. Masih hangat di ingatan kita saat terjadinya lonjakan harga telur ayam pada bulan Juli silam. Harga rata-rata telur ayam di kawasan Jabodetabek mencapai Rp28ribu per kg. Pemerintah, melalui dana yang dikucurkan oleh Kementerian Pertanian, mengguyur pasar dengan pasokan telur yang dipatok pada harga Rp19.500,00 per kg selama beberapa pekan. Program ini akhirnya mampu menormalisasi harga telur ke level Rp21ribu-Rp22ribu per kg (sumber:liputan6). Dalam arti bahwa, fungsi stabilisasi APBN sangat berperan dalam menghadapi polemik harga-harga komoditas, yaitu sebagai instrumen untuk mengarahkan perekonomian menuju ke titik equlibirium.
Contoh di atas merupakan peran pemerintah yang secara langsung mempengaruhi harga. Di samping itu, pemerintah dapat secara tidak langsung mengintervensi harga yang melenceng jauh dari equilibirium. Langkah yang ditempuh adalah dengan melaksanakan pembangunan infrastruktur secara merata, seperti yang sedang dilakukan pemerintah saat ini.
Dalam ilmu ekonomi, ada 3 (tiga) teori pembentukan harga yang mana salah satunya adalah pendekatan biaya. Biaya untuk memperoleh bahan baku, mengolah, hingga barang sampai di tangan produsen (distribusi) menjadi input pembentukan harga dalam pendekatan ini. Dalam arti bahwa, semakin jauh bahan baku dari produsen (tempat pengolahan) maka semakin mahal harga barang tersebut. Begitu juga, jika semakin jauh konsumen dari produsen, maka akan semakin mahal pula harganya. Imbasnya, tentu bagi daerah yang terisolir, harga akan melonjak tak terkira. Di Papua misalnya, harga semen bisa mencapai Rp2juta per sak dan gas elpiji 12 kg non subsidi dijual seharga Rp400ribu-Rp500ribu per tabung (sumber:papuanews.id/2017).
Apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan seutuhnya, tentu tidak akan ada yang bersedia untuk membangunan sarana dan prasarana yang membutuhkan pembiayaan yang masif. hal itu karena mekanisme pasar tidak dapat mengakomodasi aktivitas yang membutuhkan barang publik. Di sini lah, APBN hadir menjadi salah satu solusi pembangunan infrastruktur. Melalui fungsi distribusi yang melekat pada APBN, diharapkan mampu menciptakan keadilan dan kepatutan untuk setiap jengkal wilayah di negeri ini.

Kesimpulan
Invisible hand bagaikan kartu Blue Eyes Ultimate Dragon pada serial kartun Yugi-Oh, kombinasi kartu-kartu langka yang bergabung menjadi satu. Sama halnya dalam pemodelan invisible hand, hanya akan terdeteksi atau muncul apabila kondisi-kondisi yang sukar dipenuhi bahkan tidak realistis sehingga perlu rasionalisasi oleh Pemerintah melalui instrumen APBN. Perencanaan penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN harus dilaksanakan dengan rasional dan kredibel agar langkah-langkah yang ditempuh tidak mengubah kegagalan pasar menjadi kegagalan pemerintah. Dengan adanya intervensi pemerintah dalam memelihara equilibirium perekonomian, maka sejatinya wujud dari Invisible hand adalah “Prudent Government Hand”.