Selasa, 25 April 2017

Strategi dan/atau Upaya Terbaik dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia



Sumber: https://justudhi.files.wordpress.com/2012/03/indonesia_2.jpg

Latar Belakang
Korupsi merupakan salah satu masalah dan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat dunia pada saat ini. Di Indonesia, permasalahan ini dapat dikatakan sebagai sebuah problematika sebab tak kunjung dapat dicegah dan dibasmi. Hal itu diperkuat oleh fakta sejarah yang mengatakan bahwa mulai dari masa pemerintahan kerajaan, kolonial, hingga era reformasi saat ini, korupsi terus mendarah daging di negeri ini. Bahkan, menurut kajian Transparency International hingga akhir tahun 2016,  Indonesia masih menempati posisi 90 dari 176 negara dalam hal negara bebas korupsi dengan indeksi persepsi korupsi (IPK) yang hanya 37 dari 100.
Menilik dari segi dampak yang ditimbulkan, korupsi tidak hanya mengancam pemenuhan hak-hak asasi manusia, macetnya demokrasi, dan proses demokratisasi, namun juga dapat merusak lingkungan, menghambat pembangunan, dan  meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia (Marcella Elwina S.: 2011). Hal itu baru segelintir dari dampak korupsi. Apabila dirincikan lebih lanjut, akan membutuhkan buku setebal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tak heran bahwa banyak ahli yang mengatakan bahwa korupsi adalah extraordinary crime, kejahatan tidak biasa yang menimbulkan dampak luar biasa.
Korupsi dapat dianggap sebagai sebuah parasit yang terus menggerogoti dan menghisap berbagai upaya dan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan mulia didirikannya bangsa ini, yang dirumuskan dalam preambule UUD 1945, sehingga urgensi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang terjadi di negeri ini harus menjadi salah satu prioritas utama yang mesti dipikirkan dengan seksama oleh penyelenggara negara. Apabila kita menelisik fakta yang ada, sebenarnya berbagai upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi telah dilakukan, mulai dari dibuatnya UU Tipikor, dibentuknya KPK, dan lain-lain. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut belum dapat memberikan hasil yang efektif dalam menanggulangi masalah ini. Kemungkinan besar disebabkan oleh cara atau metode yang kurang tepat dan/atau memang kebijakannya yang masih belum efektif. Oleh karena itu, menurut saya, beberapa strategi dan upaya terbaik dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia akan dibahas dalam tulisan ini.

Pembahasan

1.    Memperkuat kedudukan dan membenahi Komisi Pemberantasan Korupsi /KPK.
       Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, KPK memiliki peran yang sangat vital. Beradasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tugas dan wewenangnya adalah:
Tugas
·      koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
·      supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
·      melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
·      melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
·      melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Wewenang
·      mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
·      menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
·   meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
·  melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
·      meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Melihat dari tugas-tugas tersebut, KPK bukanlah satu-satunya lembaga yang menangani permasalahan korupsi. Dalam praktiknya terdapat “pluralisme kelembagaan”, KPK bersama dengan kejaksaan dan Polri yang dapat menangani permasalah korupsi yang mana ketiganya dihubungkan oleh sebuah rantai koordinasi yang rumit. Hal ini lah, menurut saya, yang dapat menghambat proses pemberantasan tindak pidana korupsi.

       Dalam UU KPK, sebenarnya telah diatur tentang kewenangan penangan kasus korupsi. Namun, ketentuan-ketentuan tersebut malah akan membuat proses penanganan akan menjadi tidak efisien dan berlarut-larut karena akan timbul yang namanya rantai birokrasi. Sebagai contoh, dalam pasal 9 poin d mengenai ketentuan pengambilalihan penyidikan dan penuntutan disebutkan bahwa  KPK dapat mengambil alih kasus korupsi apabila penanganan kasus tersebut berlarut-larut atau tertunda tanpa alasan yang jelas. Tentu akan lebih baik kalau penanganan kasus tersebut menjadi kewenangan KPK sejak sehingga tidak ada waktu yang terbuang. Belum lagi proses pemindahan berkas-berkas dan ketentuan administrasi lainnya yang mesti dilalui selama pengambilalihan kasus.

      Selain itu, KPK, Kejaksaan, dan Polri memiliki kedudukan yang setara sehingga rentan sekali timbul sebuah ego yang istilahnya “ego sektoral”, yang mana masing-masing lembaga merasa lebih superior dari yang lain. Ego sektoral ini merupakan kendala psikologis dalam membangun sinergi yang optimal antar lembaga tersebut dan ini akan sangat terasa dalam hal terdapat kepentingan masing-masing lembaga dalam kasus tersebut. Contoh nyata dari hal ini adalah saat adanya perseteruan antara KPK vs Polri yang terkenal dengan istilah “cicak vs buaya”, yang mana dalam kasus tersebut terdapat kepentingan KPK untuk menangani kasus korupsi simulator SIM dan kepentingan Polri untuk melindungi organisasinya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan memperkuat kedudukan KPK, adalah bahwa KPK menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan penanganan perkara korupsi, mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.

     Walaupun dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa KPK memiliki tugas dan kewenangan penuh untuk menangani korupsi, sinergi antara KPK, lembaga peradilan, dan penegak hukum mutlak diperlukan karena ketiganya merupakan ujung tombak penegakan hukum negeri ini, khususnya dalam kasus korupsi. Namun, keterlibatan mereka hanya sebatas melakukan tugas masing-masing dengan penuh integritas dan memberi bantuan kepada KPK, tidak boleh mengintervensi KPK dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Misalnya, Polri dan Kejaksaan terlibat dalam penanganan apabila dibutuhkan KPK, tidak ada ada lagi pluralisme kewenangan. Di lain pihak, lembaga peradilan yaitu pengadilan tindak pidana khusus korupsi melakukan tugasnya dengan baik dalam memutuskan perkara, tanpa intervensi, dan lain-lain. Dalam rangka memperkuat kedudukan KPK ini, berikut beberapa hal yang mesti dibenahi.
·   Lingkup tugas KPK, yang tertuang dalam pasal 11 UU KPK, mesti diperluas. Jadi tidak hanya menyangkut korupsi yang melibatkan pejabat negara, namun juga dapat menangani kasus swasta murni. Hal ini karena, pada dasarnya, korupsi tetaplah korupsi, tidak ada diskriminasi. Korupsi pada sektor swasta, apabila kita telisik lebih dalam, juga memiliki pengaruh terhadap pencapaian tujuan bernegara.
·     Selain itu, KPK mesti menangani tidak hanya pada kasus korupsi yang lebih dari 1 miliar. Semua kasus korupsi menjadi wewenang KPK.
·   Dalam pencegahan tindak pidana korupsi, tidak cukup hanya melalui administrasi LHKPN dan program pengendalian gratifikasi/PPG. KPK mesti terlibat dalam kegiatan yang dianggap berpotensi korupsi, salah satunya dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa penyelenggara negara dan/atau pihak lain yang terikat. Keterlibatan KPK adalah pada ranah supervisi. KPK dapat menggandeng BPK, BPKP, dan/atau itjen dalam melakukan pengawasan. Menurut saya, dengan dilakukannya hal ini, korupsi dapat segera dihentikan sebelum korupsi masif terjadi.
·     Mungkin KPK harus lebih licik dengan menempatkan mata-mata dalam sebuah kegiatan dan/atau organisasi yang dianggap, menurut laporan dan analisis, sangat rentan korupsi.
·      Oleh karena beban tugas yang berat tersebut, penambahan anggaran untuk KPK mutlak diberikan. Penambahan anggaran ini dapat dipergunakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM, infrastruktur dan meningkatkan teknologi KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi. Berdasarkan data CNN Indonesia, pada tahun 2017 ini anggaran KPK malah merosot 250 miliar rupiah menjadi 734,2 miliar rupiah. Jika dibandingkan dengan lembaga anti rasuah negara lain, angka ini sangatlah kecil. Contohnya, anggaran ICAC Hongkong sebesar USD875,5 juta atau sekitar Rp11 triliun (data tahun 2013). Menurut Bertrand de Speville, Mantan Komisioner ICAC Hongkong, negara yang berhasil memberantas korupsi setidaknya mengalokasikan 0,5% dari total anggaran negara. itu artinya, idealnya, Pemerintah setidaknya mengalokasikan sekitar 10 triliun rupiah (estimasi APBN 2017 Rp 2000T).

2.    Membenahi lembaga negara dan regulasi korupsi.
     Pembenahan lembaga negara, baik itu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dapat dilakukan dalam tubuh organisasinya. Dalam melakukan pembenahan ini, tentunya berkaca dari kebijakan negara lain adalah langkah terbaik. Berikut ini rinciannya.
·  Indonesia, khususnya Presiden, harus berkaca dari kebijakan yang diambil Presiden Georgia, Mikheil Saakashvii, dalam membasmi perilaku korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian negaranya. Tak tanggung-tanggung ia langsung memecat sejumlah 30000 personel kepolisian yang terlibat korupsi. Begitu juga dengan Lee Myung Bak, Presiden Korea Selatan, yang bahkan menyuruh kepolisian untuk menangkap kakaknya sendiri, salah seorang anggota parlemen, karena terlibat korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa sangat diperlukan ketegasan dan keteladanan oleh para pemimpin negeri ini, Presiden bersama dengan DPR, MPR, dan pimpinan lembaga yudikatif, dalam memberantas dan mencegah praktik korupsi pada lembaga yang dipimpin masing-masing.
·    Salah satu sebab korupsi adalah karena kebutuhan. Oleh karena itu, meningkatkan gaji para PNS dan penyelenggara negara adalah suatu solusi. Mungkin ini terkesan naif karena korupsi adalah masalah moral. Manusia jarang merasa puas. Namun, implementasinya dibuat menjadi sebuah sistem reward and punishment. Bagi lembaga-lembaga yang menunjukkan perkembangan dalam segi persepsi korupsi, performa, pelayanan, dan lain-lain akan mendapatkan kenaikan gaji yang besar. Sebaliknya, bagi yang tidak atau bahkan menunjukkan penurunan, mesti diawasi dengan ketat dan bahkan diberi sanksi pengetatan anggaran.
·    Menghilangkan sistem politik “bagi kursi” yang membudaya di negeri ini. Dengan adanya sistem ini, para pemegang jabatan strategis bukan ditentukan oleh kompetensi dan track record-nya, namun hanya sebatas politik balas budi sebagai hadiah atas bantuannya. Para pejabat yang menerima kursi ini, umumnya dari kalangan partai politik, sangat berpotensi melakukan korupsi. Hal ini telah banyak kita saksikan di negeri ini. Untuk mewujudkan hal tersebut, masyarakat harus vokal dan bertindak dalam melakukan penolakan apabila ada indikasi terjadinya sistem politik bagi kursi.
·     Khusus untuk partai politik, saya mendukung wacana kebijakan untuk meningkatkan dana bantuan keuangan negara bagi partai politk. Hal ini dalam rangka sebagai tindakan pencegahan terjadinya korupsi masif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi adalah program partai politik. Pejabat negara yang berasal dari partai politik, DPR maupun pemerintahan, kemungkinan besar diharuskan untuk mencari dana untuk partai melalui korupsi. Apabila kita telisik lebih dalam, tentunya ada sebuah hubungan kuat antara peningkatan dana bantuan keuangan negara ini dengan pembenahan organisasi lembaga negara.

      Dari segi regulasi, khususnya mengenai sanksi bagi pelaku korupsi, sangat perlu untuk dibenahi. Fakta mengatakan bahwa sanksi yang diatur dalam UU Tipikor belum dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Itu terlihat dari ekspresi bak selebritis yang ditunjukkan para pelaku korupsi di media. Di Jepang, orang yang melakukan korupsi bahkan sampai nekat melakukan harakiri (bunuh diri) karena rasa malu yang tak dapat ditahan. Hal ini menunjukkan bahwa orang Indonesia, khususnya penyelenggara negara, kebanyakan tidak tahu malu sehingga perlu inovasi dalam memberikan sanksi. Berikut ini beberapa sanksi, menurut saya, yang dapat memberikan efek jera.
·   Untuk memberikan efek jera, Indonesia harus belajar dari Tiongkok. Hu Jintao, Presiden Tiongkok, memberlakukan sanksi hukuman mati bagi para pelaku korupsi. Sanksi seperti ini mesti segera diberlakukan di Indonesia untuk membungkam perasaan tidak bersalah yang diperlihatkan oleh para koruptor. Selain itu, Hu Jintao juga memberlakukan hukuman sosial dengan memajang wajah para koruptor di media sosial, baliho, dan tempat lainnya agar dibenci oleh masyarakat. Ini lah hukuman yang saya rasa sangat efektif.
·   Selain dari pemberlakuan hukuman mati dan hukuman sosial, para pelaku korupsi di Indonesia harus serta merta dicabut hak politiknya, tidak perlu ada pertimbangan tambahan. Jadi ia tidak boleh terlibat dalam penyelenggaraan negara lagi.
·      UU Tipikor perlu untuk mengatur pengurangan atau bahkan penghapusan sanksi bagi para justice collaborator. Hal ini untuk memberikan insentif atas keberaniannya mengungkap perkara korupsi.

3.    Membentuk suatu organisasi media khusus korupsi.
      Zaman kapitalisme, keuntungan dan modal adalah segalanya. Media, saat ini, terkesan lebih memburu rating penonton dibandingkan kualitas liputan. Tak ayal banyak media yang mulai kehilangan objektifitasnya. Bahkan, lebih parah lagi, media-media saat ini lebih fokus untuk meliput sesuatu yang sebenarnya tidak materiil yang berbau drama. Sebut saja kasus kopi sianida oleh Jessica.

      Khusus untuk perkara korupsi, saya merasa bahwa media belum optimal dalam menyajikan liputan kasus. Media terkesan hanya meliput kasus yang “besar” sehingga kasus-kasus yang lebih kecil luput dari pemberitaan. Bahkan, untuk media yang dimiliki atau dikendalikan oleh oknum tertentu, perkara korupsi yang melibatkan dirinya atau relasinya tidak diberitakan. Contohnya Abu Rizal Bakrie dan TV One. Padahal, peran media sangat diperlukan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Media memiliki fungsi sebagai sumber informasi masyarakat dan para pihak berkepentingan dalam memahami dan menentukan sikap dalam pencegahan dan pembasmian korupsi. Oleh karena itu, keakuratan, keandalan, dan kualitas liputan mutlak diperlukan.
   
      Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, diperlukan sebuah organisasi media yang independen, berkualitas, dan memiliki tugas pokok untuk meliput dan menginvestigasi kasus-kasus korupsi di negeri ini. Nantinya, media ini akan memberikan liputan dan siaran baik melaui televisi, koran, dan media sosial, khusus mengenai korupsi bekerja sama dengan KPK. Karena media ini tidak komersiil, maka untuk pembiayaan harus diberikan oleh negara. Tidak boleh dibiayai oleh pihak lain karena akan berpotensi melahirkan politik balas budi. Wujud dari media ini dapat berupa KPK TV atau dengan memberdayakan TVRI.

4.    Mengoptimalkan peran masyarakat.
      Pencegahan dan pembasmian korupsi bukanlah semata-mata tugas pemimpin beserta jajaran penyelenggara negara (KPK). Karena apabila hal itu hanya dibebankan kepadanya, tentu akan membutuhkan usaha yang sangat keras dan waktu yang lama. Oleh karena itu, seyogyanya masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mencegah dan memberantas korupsi.

   Dalam mengoptimalkan peran masyrakat ini, KPK perlu memberikan edukasi secara berkesinambungan mengenai korupsi (bentuk dan dampaknya) dan urgensi keterlibatan masyarakat. Hal itu dapat dilakukan melalui seminar dan media seperti yang telah saya uraikan sebelumnya. Bentuk dari pengoptimalan peran masyarakat dapat berupa sarana pengaduan korupsi bagi masyarakat yang ingin melapor. Sebagai insentif, masyarakat yang laporannya benar adanya, dapat diberikan insentif baik berupa sertifikat tanda jasa, dan lain-lain. Selain itu, KPK dapat menginisiasi terbentuknya LSM anti korupsi di masyarakat. LSM ini akan berfungsi sebagai mitra KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran masyarakat, selain melaporkan dugaan korupsi, juga sangat diperlukan dalam mengawal dan melindungi KPK yang mana saat ini banyak pihak yang berusaha mengancam KPK dan bahkan membahayakan penyidik KPK dalam menjalankan tugas serta melemahkan KPK secara hukum melaui upaya revisi UU KPK yang tengah berlangsung saat ini.

5.    Corruption Amnesty sebagai Policy of the Last Effort.
      Corruption Amnesty sebagai Policy of the Last Effort merupakan kebijakan yang menurut saya patut dicoba sebagai pilihan terakhir. Maksud dari pilihan terakhir adalah apabila praktik korupsi tetap tak bisa dicegah dan dibasmi walaupun telah dilaksanakan berbagai kebijakan dengan optimal. Corruption amnesty memiliki konsep yang hampir sama dengan tax amnesty yang baru saja diterapkan di Indonesia. Dalam tax amnesty, sanksi pidana terkait perpajakan  dihapuskan apabila membayar uang tebusan. Namun, dalam corruption amnesty, sanki-sanksi baik pidana, denda, dan lain-lain dapat dihapus seluruhnya atau dihapus sebagian bergantung kepada ketentuan berikut ini.
·    Untuk perkara korupsi yang besar dan strategis bagi negara, seperti kasus E-KTP, sanksi pidana dan denda akan dihapus apabila individu yang terlibat di dalamnya mengembalikan semua uang hasil korupsinya dan melaporkan semua pihak-pihak yang terlibat dan dapat menyajikan bukti yang kuat keterlibatan pihak tersebut sehingga mereka dapat dijerat. Tetapi, diberlakukan pencabutan hak politik. Hal ini hanya berlaku bagi pelapor pertama..
·  Untuk perkara korupsi skala lainnya, diberlakukan pengurangan sanksi, pidana maupun denda, dengan syarat tetap harus mengembalikan uang hasil korupsi. Pengurangan sanksi tersebut atas dasar keakuratan dan keandalan laporan serta bukti. Untuk pencabutan hak politik, dapat dipertimbangkan.

Agar pelaksaanan program ini dapat efektif, maka diperlukan momen dan sanksi yang tegas. Sama halnya denga tax amnesty yang memanfaatkan AEOI untuk “menakut-nakuti” wajib pajak, corruption amnesty juga dapat memanfaatkan data AEOI dari otoritas pajak dan data dalam negeri dari perbankan dan keuangan lainnya yang dapat menjadi sumber data analisis tindak pidana korupsi. Memang KPK memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut sesuai dengan kewenanangannya yang diatur dalam pasal 12 UU KPK. Dari segi sanksi, sama halnya dengan tax amnesty, akan diberikan jauh lebih berat apabila tidak mengikuti program corruption amnesty. Sanksi ini dapat berupa penjatuhan sanski pidana dan denda 2 kali lipat dari normal bahkan hingga hukuman mati, khusus untuk kasus korupsi besar dan strategis bagi negara.

6.    Memulai perubahan dari diri sendiri.
      Korupsi adalah sebuah permasalahan moral seseorang. Walaupun saya telah menjelaskan ide-ide untuk mencegah dan memberantas korupsi, tidak akan berbuah hasil apabila moral seseorang telah rusak. Moral yang rusak ini dapat menimbulkan perilaku negatif, seperti ketamakan. Ketamakan inilah “mesin” dari perilaku korupsi, selain dari kebutuhan.

      Cara satu-satunya untuk mencegah rusaknya moral dalam ranah korupsi adalah membiasakan diri kita untuk berperilaku positif, seperti selalu bersyukur, berintegritas, dan profesional. Dengan membiasakan diri, maka perilaku positif tersebut dapat menjadi kebiasaan dan kebiasaan tersebut menjadi sebuah budaya diri. Budaya diri yang positif ini dapat kita tularkan ke dalam lingkungan pergaulan kita sehingga menjadi budaya sekitar. Apabila menular lagi ke lingkungan yang lebih luas, diharapkan dapat menjadi budaya nasional. Ada pepatah yang mengatakan “Jika kau tidak menyukai sesuatu, ubahlah hal tersebut. Jika kau tidak bisa bisa, ubahlah sikapmu dan jangan mengeluh lagi”.


DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
http://www.anakregular.com/2015/05/7-presiden-pembasmi-korupsi-yang.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54db4fff7d855/ini-lima-jurus-kpk-hong-kong-sukses-berantas-korupsi 2015
http://nasional.kompas.com/read/2016/11/28/19085981/pendanaan.partai.politik 
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ff5990b48af5/rekomendasi-eks-pimpinan-kpk-hong-kong-diabaikan
http://m.rmol.co/read/2017/03/04/282488/KPK-Tahu-Ada-Upaya-Pelemahan-Lewat-Revisi-UU-KPK-