Sumber: https://justudhi.files.wordpress.com/2012/03/indonesia_2.jpg
Latar
Belakang
Korupsi
merupakan salah satu masalah dan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat
dunia pada saat ini. Di Indonesia, permasalahan ini dapat dikatakan sebagai
sebuah problematika sebab tak kunjung dapat dicegah dan dibasmi. Hal itu
diperkuat oleh fakta sejarah yang mengatakan bahwa mulai dari masa pemerintahan
kerajaan, kolonial, hingga era reformasi saat ini, korupsi terus mendarah
daging di negeri ini. Bahkan, menurut kajian Transparency International hingga
akhir tahun 2016, Indonesia masih
menempati posisi 90 dari 176 negara dalam hal negara bebas korupsi dengan
indeksi persepsi korupsi (IPK) yang hanya 37 dari 100.
Menilik dari segi dampak yang
ditimbulkan, korupsi tidak hanya mengancam pemenuhan hak-hak asasi manusia,
macetnya demokrasi, dan proses demokratisasi, namun juga dapat merusak
lingkungan, menghambat pembangunan, dan
meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia (Marcella Elwina S.: 2011).
Hal itu baru segelintir dari dampak korupsi. Apabila dirincikan lebih lanjut,
akan membutuhkan buku setebal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tak heran bahwa
banyak ahli yang mengatakan bahwa korupsi adalah extraordinary crime, kejahatan tidak biasa yang menimbulkan dampak
luar biasa.
Korupsi dapat dianggap sebagai sebuah
parasit yang terus menggerogoti dan menghisap berbagai upaya dan sumber daya
yang diperlukan untuk mencapai tujuan mulia didirikannya bangsa ini, yang
dirumuskan dalam preambule UUD 1945,
sehingga urgensi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang terjadi di negeri
ini harus menjadi salah satu prioritas utama yang mesti dipikirkan dengan seksama
oleh penyelenggara negara. Apabila kita menelisik fakta yang ada, sebenarnya
berbagai upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi telah dilakukan, mulai
dari dibuatnya UU Tipikor, dibentuknya KPK, dan lain-lain. Namun, fakta juga
menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut belum dapat memberikan hasil yang
efektif dalam menanggulangi masalah ini. Kemungkinan besar disebabkan oleh cara
atau metode yang kurang tepat dan/atau memang kebijakannya yang masih belum
efektif. Oleh karena itu, menurut saya, beberapa strategi dan upaya terbaik
dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia akan dibahas dalam tulisan
ini.
Pembahasan
1.
Memperkuat
kedudukan dan membenahi Komisi Pemberantasan Korupsi /KPK.
Dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi, KPK memiliki peran yang sangat vital. Beradasarkan
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
tugas dan wewenangnya adalah:
Tugas
·
koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
·
supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
·
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
·
melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi; dan
·
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Wewenang
·
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi;
·
menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
· meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
· melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
dan
·
meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.
Melihat
dari tugas-tugas tersebut, KPK bukanlah satu-satunya lembaga yang menangani
permasalahan korupsi. Dalam praktiknya terdapat “pluralisme kelembagaan”, KPK
bersama dengan kejaksaan dan Polri yang dapat menangani permasalah korupsi yang
mana ketiganya dihubungkan oleh sebuah rantai koordinasi yang rumit. Hal ini
lah, menurut saya, yang dapat menghambat proses pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Dalam UU KPK,
sebenarnya telah diatur tentang kewenangan penangan kasus korupsi. Namun,
ketentuan-ketentuan tersebut malah akan membuat proses penanganan akan menjadi
tidak efisien dan berlarut-larut karena akan timbul yang namanya rantai
birokrasi. Sebagai contoh, dalam pasal 9 poin d mengenai ketentuan pengambilalihan
penyidikan dan penuntutan disebutkan bahwa KPK dapat mengambil alih kasus korupsi apabila
penanganan kasus tersebut berlarut-larut atau tertunda tanpa alasan yang jelas.
Tentu akan lebih baik kalau penanganan kasus tersebut menjadi kewenangan KPK sejak
sehingga tidak ada waktu yang terbuang. Belum lagi proses pemindahan
berkas-berkas dan ketentuan administrasi lainnya yang mesti dilalui selama
pengambilalihan kasus.
Selain itu, KPK,
Kejaksaan, dan Polri memiliki kedudukan yang setara sehingga rentan sekali
timbul sebuah ego yang istilahnya “ego sektoral”, yang mana masing-masing
lembaga merasa lebih superior dari yang lain. Ego sektoral ini merupakan
kendala psikologis dalam membangun sinergi yang optimal antar lembaga tersebut
dan ini akan sangat terasa dalam hal terdapat kepentingan masing-masing lembaga
dalam kasus tersebut. Contoh nyata dari hal ini adalah saat adanya perseteruan
antara KPK vs Polri yang terkenal dengan istilah “cicak vs buaya”, yang mana
dalam kasus tersebut terdapat kepentingan KPK untuk menangani kasus korupsi
simulator SIM dan kepentingan Polri untuk melindungi organisasinya. Oleh karena
itu, yang dimaksud dengan memperkuat kedudukan KPK, adalah bahwa KPK menjadi
satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan penanganan perkara
korupsi, mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.
Walaupun dalam
uraian sebelumnya dijelaskan bahwa KPK memiliki tugas dan kewenangan penuh
untuk menangani korupsi, sinergi antara KPK, lembaga peradilan, dan penegak
hukum mutlak diperlukan karena ketiganya merupakan ujung tombak penegakan hukum
negeri ini, khususnya dalam kasus korupsi. Namun, keterlibatan mereka hanya
sebatas melakukan tugas masing-masing dengan penuh integritas dan memberi
bantuan kepada KPK, tidak boleh mengintervensi KPK dalam melaksanakan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Misalnya, Polri dan Kejaksaan
terlibat dalam penanganan apabila dibutuhkan KPK, tidak ada ada lagi pluralisme
kewenangan. Di lain pihak, lembaga peradilan yaitu pengadilan tindak pidana
khusus korupsi melakukan tugasnya dengan baik dalam memutuskan perkara, tanpa
intervensi, dan lain-lain. Dalam rangka
memperkuat kedudukan KPK ini, berikut beberapa hal yang mesti dibenahi.
· Lingkup tugas KPK, yang tertuang dalam pasal 11
UU KPK, mesti diperluas. Jadi tidak hanya menyangkut korupsi yang melibatkan
pejabat negara, namun juga dapat menangani kasus swasta murni. Hal ini karena,
pada dasarnya, korupsi tetaplah korupsi, tidak ada diskriminasi. Korupsi pada
sektor swasta, apabila kita telisik lebih dalam, juga memiliki pengaruh
terhadap pencapaian tujuan bernegara.
· Selain itu, KPK mesti menangani tidak hanya pada
kasus korupsi yang lebih dari 1 miliar. Semua kasus korupsi menjadi wewenang
KPK.
· Dalam pencegahan tindak pidana korupsi, tidak
cukup hanya melalui administrasi LHKPN dan program pengendalian
gratifikasi/PPG. KPK mesti terlibat dalam kegiatan yang dianggap berpotensi
korupsi, salah satunya dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa penyelenggara
negara dan/atau pihak lain yang terikat. Keterlibatan KPK adalah pada ranah
supervisi. KPK dapat menggandeng BPK, BPKP, dan/atau itjen dalam melakukan
pengawasan. Menurut saya, dengan dilakukannya hal ini, korupsi dapat segera
dihentikan sebelum korupsi masif terjadi.
· Mungkin KPK harus lebih licik dengan menempatkan
mata-mata dalam sebuah kegiatan dan/atau organisasi yang dianggap, menurut
laporan dan analisis, sangat rentan korupsi.
·
Oleh karena beban tugas yang berat tersebut,
penambahan anggaran untuk KPK mutlak diberikan. Penambahan anggaran ini dapat
dipergunakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM, infrastruktur dan
meningkatkan teknologi KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi. Berdasarkan
data CNN Indonesia, pada tahun 2017 ini anggaran KPK malah merosot 250 miliar
rupiah menjadi 734,2 miliar rupiah. Jika dibandingkan dengan lembaga anti
rasuah negara lain, angka ini sangatlah kecil. Contohnya, anggaran ICAC
Hongkong sebesar USD875,5 juta atau sekitar Rp11 triliun (data tahun 2013). Menurut
Bertrand de Speville, Mantan Komisioner ICAC Hongkong, negara yang berhasil
memberantas korupsi setidaknya mengalokasikan 0,5% dari total anggaran negara.
itu artinya, idealnya, Pemerintah setidaknya mengalokasikan sekitar 10 triliun
rupiah (estimasi APBN 2017 Rp 2000T).
2.
Membenahi
lembaga negara dan regulasi korupsi.
Pembenahan lembaga negara, baik itu lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, dapat dilakukan dalam tubuh organisasinya. Dalam
melakukan pembenahan ini, tentunya berkaca dari kebijakan negara lain adalah
langkah terbaik. Berikut ini rinciannya.
· Indonesia, khususnya Presiden, harus berkaca
dari kebijakan yang diambil Presiden Georgia, Mikheil Saakashvii, dalam
membasmi perilaku korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian negaranya. Tak
tanggung-tanggung ia langsung memecat sejumlah 30000 personel kepolisian yang
terlibat korupsi. Begitu juga dengan Lee Myung Bak, Presiden Korea Selatan,
yang bahkan menyuruh kepolisian untuk menangkap kakaknya sendiri, salah seorang
anggota parlemen, karena terlibat korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa sangat
diperlukan ketegasan dan keteladanan oleh para pemimpin negeri ini, Presiden
bersama dengan DPR, MPR, dan pimpinan lembaga yudikatif, dalam memberantas dan
mencegah praktik korupsi pada lembaga yang dipimpin masing-masing.
· Salah satu sebab korupsi adalah karena
kebutuhan. Oleh karena itu, meningkatkan gaji para PNS dan penyelenggara negara
adalah suatu solusi. Mungkin ini terkesan naif karena korupsi adalah masalah
moral. Manusia jarang merasa puas. Namun, implementasinya dibuat menjadi sebuah
sistem reward and punishment. Bagi
lembaga-lembaga yang menunjukkan perkembangan dalam segi persepsi korupsi,
performa, pelayanan, dan lain-lain akan mendapatkan kenaikan gaji yang besar.
Sebaliknya, bagi yang tidak atau bahkan menunjukkan penurunan, mesti diawasi
dengan ketat dan bahkan diberi sanksi pengetatan anggaran.
· Menghilangkan sistem politik “bagi kursi” yang
membudaya di negeri ini. Dengan adanya sistem ini, para pemegang jabatan strategis
bukan ditentukan oleh kompetensi dan track
record-nya, namun hanya sebatas politik balas budi sebagai hadiah atas
bantuannya. Para pejabat yang menerima kursi ini, umumnya dari kalangan partai
politik, sangat berpotensi melakukan korupsi. Hal ini telah banyak kita
saksikan di negeri ini. Untuk mewujudkan hal tersebut, masyarakat harus vokal
dan bertindak dalam melakukan penolakan apabila ada indikasi terjadinya sistem
politik bagi kursi.
· Khusus untuk partai politik, saya mendukung
wacana kebijakan untuk meningkatkan dana bantuan keuangan negara bagi partai
politk. Hal ini dalam rangka sebagai tindakan pencegahan terjadinya korupsi
masif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi adalah program partai politik.
Pejabat negara yang berasal dari partai politik, DPR maupun pemerintahan,
kemungkinan besar diharuskan untuk mencari dana untuk partai melalui korupsi.
Apabila kita telisik lebih dalam, tentunya ada sebuah hubungan kuat antara
peningkatan dana bantuan keuangan negara ini dengan pembenahan organisasi lembaga
negara.
Dari segi regulasi, khususnya mengenai sanksi bagi pelaku
korupsi, sangat perlu untuk dibenahi. Fakta mengatakan bahwa sanksi yang diatur
dalam UU Tipikor belum dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Itu
terlihat dari ekspresi bak selebritis yang ditunjukkan para pelaku korupsi di
media. Di Jepang, orang yang melakukan korupsi bahkan sampai nekat melakukan
harakiri (bunuh diri) karena rasa malu yang tak dapat ditahan. Hal ini
menunjukkan bahwa orang Indonesia, khususnya penyelenggara negara, kebanyakan
tidak tahu malu sehingga perlu inovasi dalam memberikan sanksi. Berikut ini
beberapa sanksi, menurut saya, yang dapat memberikan efek jera.
· Untuk memberikan efek jera, Indonesia harus
belajar dari Tiongkok. Hu Jintao, Presiden Tiongkok, memberlakukan sanksi
hukuman mati bagi para pelaku korupsi. Sanksi seperti ini mesti segera
diberlakukan di Indonesia untuk membungkam perasaan tidak bersalah yang
diperlihatkan oleh para koruptor. Selain itu, Hu Jintao juga memberlakukan
hukuman sosial dengan memajang wajah para koruptor di media sosial, baliho, dan
tempat lainnya agar dibenci oleh masyarakat. Ini lah hukuman yang saya rasa
sangat efektif.
· Selain dari pemberlakuan hukuman mati dan
hukuman sosial, para pelaku korupsi di Indonesia harus serta merta dicabut hak
politiknya, tidak perlu ada pertimbangan tambahan. Jadi ia tidak boleh terlibat
dalam penyelenggaraan negara lagi.
·
UU Tipikor perlu untuk mengatur pengurangan atau
bahkan penghapusan sanksi bagi para justice
collaborator. Hal ini untuk memberikan insentif atas keberaniannya
mengungkap perkara korupsi.
3.
Membentuk
suatu organisasi media khusus korupsi.
Zaman kapitalisme, keuntungan dan modal adalah segalanya. Media,
saat ini, terkesan lebih memburu rating
penonton dibandingkan kualitas liputan. Tak ayal banyak media yang mulai
kehilangan objektifitasnya. Bahkan, lebih parah lagi, media-media saat ini
lebih fokus untuk meliput sesuatu yang sebenarnya tidak materiil yang berbau
drama. Sebut saja kasus kopi sianida oleh Jessica.
Khusus untuk perkara korupsi, saya merasa bahwa media belum
optimal dalam menyajikan liputan kasus. Media terkesan hanya meliput kasus yang
“besar” sehingga kasus-kasus yang lebih kecil luput dari pemberitaan. Bahkan,
untuk media yang dimiliki atau dikendalikan oleh oknum tertentu, perkara
korupsi yang melibatkan dirinya atau relasinya tidak diberitakan. Contohnya Abu
Rizal Bakrie dan TV One. Padahal, peran media sangat diperlukan dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Media memiliki fungsi sebagai sumber informasi
masyarakat dan para pihak berkepentingan dalam memahami dan menentukan sikap
dalam pencegahan dan pembasmian korupsi. Oleh karena itu, keakuratan,
keandalan, dan kualitas liputan mutlak diperlukan.
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, diperlukan sebuah
organisasi media yang independen, berkualitas, dan memiliki tugas pokok untuk
meliput dan menginvestigasi kasus-kasus korupsi di negeri ini. Nantinya, media
ini akan memberikan liputan dan siaran baik melaui televisi, koran, dan media
sosial, khusus mengenai korupsi bekerja sama dengan KPK. Karena media ini tidak
komersiil, maka untuk pembiayaan harus diberikan oleh negara. Tidak boleh
dibiayai oleh pihak lain karena akan berpotensi melahirkan politik balas budi.
Wujud dari media ini dapat berupa KPK TV atau dengan memberdayakan TVRI.
4.
Mengoptimalkan
peran masyarakat.
Pencegahan dan pembasmian korupsi bukanlah semata-mata tugas
pemimpin beserta jajaran penyelenggara negara (KPK). Karena apabila hal itu
hanya dibebankan kepadanya, tentu akan membutuhkan usaha yang sangat keras dan
waktu yang lama. Oleh karena itu, seyogyanya masyarakat juga harus
berpartisipasi dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Dalam mengoptimalkan peran
masyrakat ini, KPK perlu memberikan edukasi secara berkesinambungan mengenai korupsi
(bentuk dan dampaknya) dan urgensi keterlibatan masyarakat. Hal itu dapat
dilakukan melalui seminar dan media seperti yang telah saya uraikan sebelumnya.
Bentuk dari pengoptimalan peran masyarakat dapat berupa sarana pengaduan
korupsi bagi masyarakat yang ingin melapor. Sebagai insentif, masyarakat yang
laporannya benar adanya, dapat diberikan insentif baik berupa sertifikat tanda
jasa, dan lain-lain. Selain itu, KPK dapat menginisiasi terbentuknya LSM anti
korupsi di masyarakat. LSM ini akan berfungsi sebagai mitra KPK dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran masyarakat, selain melaporkan
dugaan korupsi, juga sangat diperlukan dalam mengawal dan melindungi KPK yang
mana saat ini banyak pihak yang berusaha mengancam KPK dan bahkan membahayakan
penyidik KPK dalam menjalankan tugas serta melemahkan KPK secara hukum melaui
upaya revisi UU KPK yang tengah berlangsung saat ini.
5.
Corruption
Amnesty sebagai Policy of the Last Effort.
Corruption Amnesty
sebagai Policy of the Last Effort merupakan
kebijakan yang menurut saya patut dicoba sebagai pilihan terakhir. Maksud dari
pilihan terakhir adalah apabila praktik korupsi tetap tak bisa dicegah dan
dibasmi walaupun telah dilaksanakan berbagai kebijakan dengan optimal. Corruption amnesty memiliki konsep yang
hampir sama dengan tax amnesty yang
baru saja diterapkan di Indonesia. Dalam tax amnesty, sanksi pidana terkait
perpajakan dihapuskan apabila membayar
uang tebusan. Namun, dalam corruption
amnesty, sanki-sanksi baik pidana, denda, dan lain-lain dapat dihapus
seluruhnya atau dihapus sebagian bergantung kepada ketentuan berikut ini.
· Untuk perkara korupsi yang besar dan strategis
bagi negara, seperti kasus E-KTP, sanksi pidana dan denda akan dihapus apabila
individu yang terlibat di dalamnya mengembalikan semua uang hasil korupsinya dan
melaporkan semua pihak-pihak yang terlibat dan dapat menyajikan bukti yang kuat
keterlibatan pihak tersebut sehingga mereka dapat dijerat. Tetapi, diberlakukan
pencabutan hak politik. Hal ini hanya berlaku bagi pelapor pertama..
· Untuk perkara korupsi skala lainnya,
diberlakukan pengurangan sanksi, pidana maupun denda, dengan syarat tetap harus
mengembalikan uang hasil korupsi. Pengurangan sanksi tersebut atas dasar
keakuratan dan keandalan laporan serta bukti. Untuk pencabutan hak politik,
dapat dipertimbangkan.
Agar pelaksaanan program ini dapat efektif, maka diperlukan momen
dan sanksi yang tegas. Sama halnya denga tax
amnesty yang memanfaatkan AEOI untuk “menakut-nakuti” wajib pajak, corruption amnesty juga dapat memanfaatkan
data AEOI dari otoritas pajak dan data dalam negeri dari perbankan dan keuangan
lainnya yang dapat menjadi sumber data analisis tindak pidana korupsi. Memang
KPK memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut sesuai dengan
kewenanangannya yang diatur dalam pasal 12 UU KPK. Dari segi sanksi, sama
halnya dengan tax amnesty, akan diberikan jauh lebih berat apabila tidak
mengikuti program corruption amnesty.
Sanksi ini dapat berupa penjatuhan sanski pidana dan denda 2 kali lipat dari
normal bahkan hingga hukuman mati, khusus untuk kasus korupsi besar dan
strategis bagi negara.
6.
Memulai
perubahan dari diri sendiri.
Korupsi adalah sebuah permasalahan moral seseorang. Walaupun saya
telah menjelaskan ide-ide untuk mencegah dan memberantas korupsi, tidak akan
berbuah hasil apabila moral seseorang telah rusak. Moral yang rusak ini dapat
menimbulkan perilaku negatif, seperti ketamakan. Ketamakan inilah “mesin” dari
perilaku korupsi, selain dari kebutuhan.
Cara satu-satunya untuk mencegah rusaknya moral dalam ranah
korupsi adalah membiasakan diri kita untuk berperilaku positif, seperti selalu
bersyukur, berintegritas, dan profesional. Dengan membiasakan diri, maka
perilaku positif tersebut dapat menjadi kebiasaan dan kebiasaan tersebut
menjadi sebuah budaya diri. Budaya diri yang positif ini dapat kita tularkan ke
dalam lingkungan pergaulan kita sehingga menjadi budaya sekitar. Apabila
menular lagi ke lingkungan yang lebih luas, diharapkan dapat menjadi budaya
nasional. Ada pepatah yang mengatakan “Jika kau tidak menyukai sesuatu, ubahlah
hal tersebut. Jika kau tidak bisa bisa, ubahlah sikapmu dan jangan mengeluh
lagi”.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
http://www.anakregular.com/2015/05/7-presiden-pembasmi-korupsi-yang.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54db4fff7d855/ini-lima-jurus-kpk-hong-kong-sukses-berantas-korupsi
2015
http://nasional.kompas.com/read/2016/11/28/19085981/pendanaan.partai.politik
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ff5990b48af5/rekomendasi-eks-pimpinan-kpk-hong-kong-diabaikan
http://m.rmol.co/read/2017/03/04/282488/KPK-Tahu-Ada-Upaya-Pelemahan-Lewat-Revisi-UU-KPK-