Minggu, 14 Oktober 2018


Ketika APBN Membantah Adam Smith



The Invisible Hand
Bagi para penggiat ekonomi, siapa yang tidak kenal dengan Adam Smith? Seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia, yang oleh para ekonom, mendapat gelar “Founder of Modern Economics”. Bukunya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nation” (1776) adalah merupakan buku pertama yang berisi perumusan yang pasti tentang ekonomi Liberal yang bertujuan membawa kemakmuran individu dan masyarakat secara maksimum. Adam Smith mengemukakan teori bahwa mekanisme pencapaian tingkat kemakmuran dapat tercapai melalui kekuatan tangan tak terlihat (invisible hand), yaitu tanpa adanya campur tangan pemerintah, dimana mekanisme pasar akan menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien. Teori ini merupakan salah satu fondasi dalam ideologi pasar bebas yang mengunggulkan peran swasta dan mengharamkan program pemerintah, seperti pada masa pemerintahan Ronald Reagan dan Bush I di Amerika Serikat.
Namun, dalam ulasan Harvard Bussiness Review oleh Jonathan Schlefer, menyatakan dengan tegas bahwa “Invisible Hand” merupakan teori yang tidak pernah terbukti praktis hingga saat ini. Bahkan beberapa penelitian telah dilakukan untuk memodelkan invisible hand, salah satunya oleh Kenneth Arrow dan Gerrard Debreu pada tahun 1954, yang hasilnya adalah sejumlah besar kondisi yang tidak realistis, seperti informasi yang sempurna untuk semua pelaku pasar dan adanya persaingan sempurna.

Kegagalan Pasar dan Intervensi APBN
Telah lama diakui bahwa pasar tidak selalu bekerja dengan baik. Pada praktiknya, pasar menghasilkan lebih banyak untuk hal-hal tertentu (seperti polusi udara). Tetapi terlalu sedikit untuk hal-hal lainnya (seperti investasi, kesehatan, dan pendidikan), terutama hal-hal yang berkaitan dengan barang publik. Pasar juga tidak dapat mengatur dirinya sendiri. Ketidakmampuan pasar dalam mengakomodasi segala aktivitas, ekternalitas, dan proses yang terjadi di dalamnya mengakibatkan kondisi yang kerap disebut dengan istilah “Kegagalan Pasar”. Berangkat dari fakta-fakta ini, menurut Stiglitz, Pemerintah harus turut menjadi pemain di dalamnya. Terlebih lagi bagi negara berkembang yang perekenomiannya tergolong volatile
Secara garis besar, keikutsertaan pemerintah direpresentasikan melalui kebijakan fiskal, yaitu kombinasi antara pendapatan dan belanja negara dalam wujud APBN. Angka-angka yang termaktub dalam pos-pos APBN merupakan cerminan dari upaya pemerintah dalam melakukan intervensi terhadap kegagalan pasar, dengan gambaran sebagai berikut.
1.      Intervensi melalui pos pendapatan negara.
Tahukah anda? Aktivitas perekenomian kerap kali tidak memperhitungkan eksternalitas negatif sebagai input biaya. Misalnya, dalam industri rokok, pelaku pasar tidak memperhitungkan efek negatif rokok terhadap kesehatan dan mungkin kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan perkebunan tembakau. Hal ini karena pola pikir profit oriented bagi pelaku pasar untuk menjajahkan produk termurah di tengah persaingan pasar yang berlangsung. Oleh karena itu, negara hadir sebagai supervisor sekaligus regulator dengan meningkatkan tarif dan target penerimaan cukai tembakau tiap tahunnya, yang pada APBN-P 2017 sebesar Rp153,16T menjadi Rp155,4T pada APBN 2018. Terlebih pada tahun ini, Pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait pemanfaatan penerimaan cukai rokok untuk menambal defisit BPJS. Hal ini merupakan bentuk implementasi fungsi alokasi APBN untuk menciptakan efisiensi sumber daya yang tidak mampu diwujudkan oleh pasar bebas.
Selain dari upaya peningkatan penerimaan negara, terkadang untuk mengatasi kegagalan pasar, pemerintah juga melakukan kebijakan untuk menurunkan penerimaan negara di suatu sektor tertentu. Sebagai contoh, pada APBN 2017, target penerimaan perpajakan yang dipatok pemerintah sebesar Rp1489,9T lebih kecil dari target pada APBNP 2016 sebesar Rp1539,2T. Penurunan ini merupakan sinyal dari pemerintah untuk memberi momentum perkembangan bagi bisnis. Dari sisi produsen, langkah pemerintah ini akan memberi ruang fiskal (net income/EBT) yang lebih luas bagi korporat untuk berekspansi. Di lain pihak, bagi konsumen, pengurangan target pajak akan memberi sinyal peningkatan daya beli mereka pada tahun berjalan. Terlebih lagi, pada tahun 2016, Pemerintah meningkatkan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar 50% menjadi Rp4,5juta per bulan yang makin memberi ruang terbuka bagi peningkatan belanja individu. Secara akumulatif, langkah penurunan target pajak yang dilakukan pemerintah ini semata-mata untuk mengerek pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan pasar agar lebih berkembang dan kondusif bagi investasi. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan apabila pasar bertindak bebas.    
2.   Intervensi melalui pos belanja negara.
Melalui pos belanja negara, pemerintah terus memantau dan mengintervensi pasar apabila dirasa perlu. Masih hangat di ingatan kita saat terjadinya lonjakan harga telur ayam pada bulan Juli silam. Harga rata-rata telur ayam di kawasan Jabodetabek mencapai Rp28ribu per kg. Pemerintah, melalui dana yang dikucurkan oleh Kementerian Pertanian, mengguyur pasar dengan pasokan telur yang dipatok pada harga Rp19.500,00 per kg selama beberapa pekan. Program ini akhirnya mampu menormalisasi harga telur ke level Rp21ribu-Rp22ribu per kg (sumber:liputan6). Dalam arti bahwa, fungsi stabilisasi APBN sangat berperan dalam menghadapi polemik harga-harga komoditas, yaitu sebagai instrumen untuk mengarahkan perekonomian menuju ke titik equlibirium.
Contoh di atas merupakan peran pemerintah yang secara langsung mempengaruhi harga. Di samping itu, pemerintah dapat secara tidak langsung mengintervensi harga yang melenceng jauh dari equilibirium. Langkah yang ditempuh adalah dengan melaksanakan pembangunan infrastruktur secara merata, seperti yang sedang dilakukan pemerintah saat ini.
Dalam ilmu ekonomi, ada 3 (tiga) teori pembentukan harga yang mana salah satunya adalah pendekatan biaya. Biaya untuk memperoleh bahan baku, mengolah, hingga barang sampai di tangan produsen (distribusi) menjadi input pembentukan harga dalam pendekatan ini. Dalam arti bahwa, semakin jauh bahan baku dari produsen (tempat pengolahan) maka semakin mahal harga barang tersebut. Begitu juga, jika semakin jauh konsumen dari produsen, maka akan semakin mahal pula harganya. Imbasnya, tentu bagi daerah yang terisolir, harga akan melonjak tak terkira. Di Papua misalnya, harga semen bisa mencapai Rp2juta per sak dan gas elpiji 12 kg non subsidi dijual seharga Rp400ribu-Rp500ribu per tabung (sumber:papuanews.id/2017).
Apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan seutuhnya, tentu tidak akan ada yang bersedia untuk membangunan sarana dan prasarana yang membutuhkan pembiayaan yang masif. hal itu karena mekanisme pasar tidak dapat mengakomodasi aktivitas yang membutuhkan barang publik. Di sini lah, APBN hadir menjadi salah satu solusi pembangunan infrastruktur. Melalui fungsi distribusi yang melekat pada APBN, diharapkan mampu menciptakan keadilan dan kepatutan untuk setiap jengkal wilayah di negeri ini.

Kesimpulan
Invisible hand bagaikan kartu Blue Eyes Ultimate Dragon pada serial kartun Yugi-Oh, kombinasi kartu-kartu langka yang bergabung menjadi satu. Sama halnya dalam pemodelan invisible hand, hanya akan terdeteksi atau muncul apabila kondisi-kondisi yang sukar dipenuhi bahkan tidak realistis sehingga perlu rasionalisasi oleh Pemerintah melalui instrumen APBN. Perencanaan penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN harus dilaksanakan dengan rasional dan kredibel agar langkah-langkah yang ditempuh tidak mengubah kegagalan pasar menjadi kegagalan pemerintah. Dengan adanya intervensi pemerintah dalam memelihara equilibirium perekonomian, maka sejatinya wujud dari Invisible hand adalah “Prudent Government Hand”.

Rabu, 05 Juli 2017

KONSEP HARGA, BIAYA, DAN NILAI DALAM PROSES PENILAIAN 

Ilustrasi oleh M.R. Arve


     Dalam melakukan peniliaian, khususnya penilaian properti, ada 3 (tiga) istilah yang mesti kita pahami sebagai penilai, yakni harga, biaya, dan nilai. Kerancuan dalam memahami ketiganya mengindikasikan bahwa kompetensi penilai dapat diragukan karena sifatnya sebagai salah satu konsep dasar penilaian. Berikut ulasannya.

       Secara terminologi, definisi harga, biaya, dan nilai adalah sebagai berikut.
Harga merupakan sejumlah uang yang diminta, ditawarkan atau dibayarkan untuk suatu aset. (KPUP 4.0 KEPI & SPI VI-2015)
Biaya merupakan  sejumlah uang yang diperlukan untuk memperoleh atau menciptakan suatu aset(KPUP 4.0 KEPI & SPI VI-2015)
Nilai merupakan suatu opini dari manfaat ekonomi atas kepemilikan aset(KPUP 4.0 KEPI & SPI VI-2015)
      Dari ketiga definisi tersebut, dapat dipahami perbedaan mendasar dan hubungan antara ketiganya. Harga merupakan sebuah fakta karena telah terjadi proses transaksi dan negosisasi antara pihak berkepentingan yang menghasilkan sejumlah uang tertentu. Harga ini berhubungan dengan biaya, karena harga yang dibayar untuk memperoleh suatu aset menjadi biaya bagi pembeli. Namun, hal ini tidak berlaku sebaliknya. Pasalnya, biaya belum tentu akan sama dengan harga. Misalnya, saat kita membeli aset, harga yang kita bayar akan menjadi biaya perolehan. Lalu, saat kita menjualnya kepada orang lain, harga dari aset tersebut dapat lebih kecil, lebih besar, atau akan sama dengan biaya perolehan aset sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh adanya faktor kepentingan tertentu dalam proses negosiasi dan transaksi.

Harga = Biaya ± Faktor Kepentingan

    Di lain pihak, dalam tujuan jual beli aset, penilai melakukan kegiatan penilaian untuk menghasilkan nilai dari aset tersebut. Nilai dapat dikatakan sebagai harga hipotesis karena sifatnya yang berupa opini. Dikatakan sebagai harga hipotesis karena akan ada pengaruh dari kemampuan keuangan, motivasi, kepentingan khusus antara pihak berkepentingan, atau kondisi yang memungkinkan fakta harga yang terbentuk tidak sama dengan nilai dari aset tersebut. Dalam teori penilaian, nilai memiliki beberapa jenis tergantung dari tujuan penilaian, diantaranya nilai pasar, nilai likuidasi, nilai sekrap, dan lain-lain yang dirumuskan dalam Buku KEPI dan SPI Edisi VI-2015.

      Dalam memahami konsep harga, biaya, dan nilai, dapat ditelisik melalui kaitan ketiganya pada proses penilaian. Pada proses ini, nilai merupakan sebuah output akhir yang diestimasi tidak terlepas dari konsep harga dan biaya. Konkretnya, pada saat menilai menggunakan pendekatan pasar, harga-harga properti pembanding menjadi acuan dalam pembentukan nilai, yang tentunya akan dilakukan penyesuaian terlebih dahulu. Selain itu, dalam hubungannya dengan konsep biaya, dapat dipahami saat menggunakan pendekatan biaya. Unsur utama pembentuk nilai adalah dengan menganalisis biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun atau memperoleh baru aset tersebut, yang nantinya disesuaikan dengan penyusutan menurut tanggal penilaian.

Kesimpulan

    Menurut saya, konsep harga, biaya, dan nilai merupakan kesatuan unsur yang tidak terpisahkan dalam proses penilaian. Ketiganya memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan dapat saling membentuk, sesuai gambar di atas.  Sekian.

CMIIW 😊 



Selasa, 25 April 2017

Strategi dan/atau Upaya Terbaik dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia



Sumber: https://justudhi.files.wordpress.com/2012/03/indonesia_2.jpg

Latar Belakang
Korupsi merupakan salah satu masalah dan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat dunia pada saat ini. Di Indonesia, permasalahan ini dapat dikatakan sebagai sebuah problematika sebab tak kunjung dapat dicegah dan dibasmi. Hal itu diperkuat oleh fakta sejarah yang mengatakan bahwa mulai dari masa pemerintahan kerajaan, kolonial, hingga era reformasi saat ini, korupsi terus mendarah daging di negeri ini. Bahkan, menurut kajian Transparency International hingga akhir tahun 2016,  Indonesia masih menempati posisi 90 dari 176 negara dalam hal negara bebas korupsi dengan indeksi persepsi korupsi (IPK) yang hanya 37 dari 100.
Menilik dari segi dampak yang ditimbulkan, korupsi tidak hanya mengancam pemenuhan hak-hak asasi manusia, macetnya demokrasi, dan proses demokratisasi, namun juga dapat merusak lingkungan, menghambat pembangunan, dan  meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia (Marcella Elwina S.: 2011). Hal itu baru segelintir dari dampak korupsi. Apabila dirincikan lebih lanjut, akan membutuhkan buku setebal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tak heran bahwa banyak ahli yang mengatakan bahwa korupsi adalah extraordinary crime, kejahatan tidak biasa yang menimbulkan dampak luar biasa.
Korupsi dapat dianggap sebagai sebuah parasit yang terus menggerogoti dan menghisap berbagai upaya dan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan mulia didirikannya bangsa ini, yang dirumuskan dalam preambule UUD 1945, sehingga urgensi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang terjadi di negeri ini harus menjadi salah satu prioritas utama yang mesti dipikirkan dengan seksama oleh penyelenggara negara. Apabila kita menelisik fakta yang ada, sebenarnya berbagai upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi telah dilakukan, mulai dari dibuatnya UU Tipikor, dibentuknya KPK, dan lain-lain. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut belum dapat memberikan hasil yang efektif dalam menanggulangi masalah ini. Kemungkinan besar disebabkan oleh cara atau metode yang kurang tepat dan/atau memang kebijakannya yang masih belum efektif. Oleh karena itu, menurut saya, beberapa strategi dan upaya terbaik dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia akan dibahas dalam tulisan ini.

Pembahasan

1.    Memperkuat kedudukan dan membenahi Komisi Pemberantasan Korupsi /KPK.
       Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, KPK memiliki peran yang sangat vital. Beradasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tugas dan wewenangnya adalah:
Tugas
·      koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
·      supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
·      melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
·      melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
·      melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Wewenang
·      mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
·      menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
·   meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
·  melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
·      meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Melihat dari tugas-tugas tersebut, KPK bukanlah satu-satunya lembaga yang menangani permasalahan korupsi. Dalam praktiknya terdapat “pluralisme kelembagaan”, KPK bersama dengan kejaksaan dan Polri yang dapat menangani permasalah korupsi yang mana ketiganya dihubungkan oleh sebuah rantai koordinasi yang rumit. Hal ini lah, menurut saya, yang dapat menghambat proses pemberantasan tindak pidana korupsi.

       Dalam UU KPK, sebenarnya telah diatur tentang kewenangan penangan kasus korupsi. Namun, ketentuan-ketentuan tersebut malah akan membuat proses penanganan akan menjadi tidak efisien dan berlarut-larut karena akan timbul yang namanya rantai birokrasi. Sebagai contoh, dalam pasal 9 poin d mengenai ketentuan pengambilalihan penyidikan dan penuntutan disebutkan bahwa  KPK dapat mengambil alih kasus korupsi apabila penanganan kasus tersebut berlarut-larut atau tertunda tanpa alasan yang jelas. Tentu akan lebih baik kalau penanganan kasus tersebut menjadi kewenangan KPK sejak sehingga tidak ada waktu yang terbuang. Belum lagi proses pemindahan berkas-berkas dan ketentuan administrasi lainnya yang mesti dilalui selama pengambilalihan kasus.

      Selain itu, KPK, Kejaksaan, dan Polri memiliki kedudukan yang setara sehingga rentan sekali timbul sebuah ego yang istilahnya “ego sektoral”, yang mana masing-masing lembaga merasa lebih superior dari yang lain. Ego sektoral ini merupakan kendala psikologis dalam membangun sinergi yang optimal antar lembaga tersebut dan ini akan sangat terasa dalam hal terdapat kepentingan masing-masing lembaga dalam kasus tersebut. Contoh nyata dari hal ini adalah saat adanya perseteruan antara KPK vs Polri yang terkenal dengan istilah “cicak vs buaya”, yang mana dalam kasus tersebut terdapat kepentingan KPK untuk menangani kasus korupsi simulator SIM dan kepentingan Polri untuk melindungi organisasinya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan memperkuat kedudukan KPK, adalah bahwa KPK menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan penanganan perkara korupsi, mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.

     Walaupun dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa KPK memiliki tugas dan kewenangan penuh untuk menangani korupsi, sinergi antara KPK, lembaga peradilan, dan penegak hukum mutlak diperlukan karena ketiganya merupakan ujung tombak penegakan hukum negeri ini, khususnya dalam kasus korupsi. Namun, keterlibatan mereka hanya sebatas melakukan tugas masing-masing dengan penuh integritas dan memberi bantuan kepada KPK, tidak boleh mengintervensi KPK dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Misalnya, Polri dan Kejaksaan terlibat dalam penanganan apabila dibutuhkan KPK, tidak ada ada lagi pluralisme kewenangan. Di lain pihak, lembaga peradilan yaitu pengadilan tindak pidana khusus korupsi melakukan tugasnya dengan baik dalam memutuskan perkara, tanpa intervensi, dan lain-lain. Dalam rangka memperkuat kedudukan KPK ini, berikut beberapa hal yang mesti dibenahi.
·   Lingkup tugas KPK, yang tertuang dalam pasal 11 UU KPK, mesti diperluas. Jadi tidak hanya menyangkut korupsi yang melibatkan pejabat negara, namun juga dapat menangani kasus swasta murni. Hal ini karena, pada dasarnya, korupsi tetaplah korupsi, tidak ada diskriminasi. Korupsi pada sektor swasta, apabila kita telisik lebih dalam, juga memiliki pengaruh terhadap pencapaian tujuan bernegara.
·     Selain itu, KPK mesti menangani tidak hanya pada kasus korupsi yang lebih dari 1 miliar. Semua kasus korupsi menjadi wewenang KPK.
·   Dalam pencegahan tindak pidana korupsi, tidak cukup hanya melalui administrasi LHKPN dan program pengendalian gratifikasi/PPG. KPK mesti terlibat dalam kegiatan yang dianggap berpotensi korupsi, salah satunya dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa penyelenggara negara dan/atau pihak lain yang terikat. Keterlibatan KPK adalah pada ranah supervisi. KPK dapat menggandeng BPK, BPKP, dan/atau itjen dalam melakukan pengawasan. Menurut saya, dengan dilakukannya hal ini, korupsi dapat segera dihentikan sebelum korupsi masif terjadi.
·     Mungkin KPK harus lebih licik dengan menempatkan mata-mata dalam sebuah kegiatan dan/atau organisasi yang dianggap, menurut laporan dan analisis, sangat rentan korupsi.
·      Oleh karena beban tugas yang berat tersebut, penambahan anggaran untuk KPK mutlak diberikan. Penambahan anggaran ini dapat dipergunakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM, infrastruktur dan meningkatkan teknologi KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi. Berdasarkan data CNN Indonesia, pada tahun 2017 ini anggaran KPK malah merosot 250 miliar rupiah menjadi 734,2 miliar rupiah. Jika dibandingkan dengan lembaga anti rasuah negara lain, angka ini sangatlah kecil. Contohnya, anggaran ICAC Hongkong sebesar USD875,5 juta atau sekitar Rp11 triliun (data tahun 2013). Menurut Bertrand de Speville, Mantan Komisioner ICAC Hongkong, negara yang berhasil memberantas korupsi setidaknya mengalokasikan 0,5% dari total anggaran negara. itu artinya, idealnya, Pemerintah setidaknya mengalokasikan sekitar 10 triliun rupiah (estimasi APBN 2017 Rp 2000T).

2.    Membenahi lembaga negara dan regulasi korupsi.
     Pembenahan lembaga negara, baik itu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dapat dilakukan dalam tubuh organisasinya. Dalam melakukan pembenahan ini, tentunya berkaca dari kebijakan negara lain adalah langkah terbaik. Berikut ini rinciannya.
·  Indonesia, khususnya Presiden, harus berkaca dari kebijakan yang diambil Presiden Georgia, Mikheil Saakashvii, dalam membasmi perilaku korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian negaranya. Tak tanggung-tanggung ia langsung memecat sejumlah 30000 personel kepolisian yang terlibat korupsi. Begitu juga dengan Lee Myung Bak, Presiden Korea Selatan, yang bahkan menyuruh kepolisian untuk menangkap kakaknya sendiri, salah seorang anggota parlemen, karena terlibat korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa sangat diperlukan ketegasan dan keteladanan oleh para pemimpin negeri ini, Presiden bersama dengan DPR, MPR, dan pimpinan lembaga yudikatif, dalam memberantas dan mencegah praktik korupsi pada lembaga yang dipimpin masing-masing.
·    Salah satu sebab korupsi adalah karena kebutuhan. Oleh karena itu, meningkatkan gaji para PNS dan penyelenggara negara adalah suatu solusi. Mungkin ini terkesan naif karena korupsi adalah masalah moral. Manusia jarang merasa puas. Namun, implementasinya dibuat menjadi sebuah sistem reward and punishment. Bagi lembaga-lembaga yang menunjukkan perkembangan dalam segi persepsi korupsi, performa, pelayanan, dan lain-lain akan mendapatkan kenaikan gaji yang besar. Sebaliknya, bagi yang tidak atau bahkan menunjukkan penurunan, mesti diawasi dengan ketat dan bahkan diberi sanksi pengetatan anggaran.
·    Menghilangkan sistem politik “bagi kursi” yang membudaya di negeri ini. Dengan adanya sistem ini, para pemegang jabatan strategis bukan ditentukan oleh kompetensi dan track record-nya, namun hanya sebatas politik balas budi sebagai hadiah atas bantuannya. Para pejabat yang menerima kursi ini, umumnya dari kalangan partai politik, sangat berpotensi melakukan korupsi. Hal ini telah banyak kita saksikan di negeri ini. Untuk mewujudkan hal tersebut, masyarakat harus vokal dan bertindak dalam melakukan penolakan apabila ada indikasi terjadinya sistem politik bagi kursi.
·     Khusus untuk partai politik, saya mendukung wacana kebijakan untuk meningkatkan dana bantuan keuangan negara bagi partai politk. Hal ini dalam rangka sebagai tindakan pencegahan terjadinya korupsi masif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi adalah program partai politik. Pejabat negara yang berasal dari partai politik, DPR maupun pemerintahan, kemungkinan besar diharuskan untuk mencari dana untuk partai melalui korupsi. Apabila kita telisik lebih dalam, tentunya ada sebuah hubungan kuat antara peningkatan dana bantuan keuangan negara ini dengan pembenahan organisasi lembaga negara.

      Dari segi regulasi, khususnya mengenai sanksi bagi pelaku korupsi, sangat perlu untuk dibenahi. Fakta mengatakan bahwa sanksi yang diatur dalam UU Tipikor belum dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Itu terlihat dari ekspresi bak selebritis yang ditunjukkan para pelaku korupsi di media. Di Jepang, orang yang melakukan korupsi bahkan sampai nekat melakukan harakiri (bunuh diri) karena rasa malu yang tak dapat ditahan. Hal ini menunjukkan bahwa orang Indonesia, khususnya penyelenggara negara, kebanyakan tidak tahu malu sehingga perlu inovasi dalam memberikan sanksi. Berikut ini beberapa sanksi, menurut saya, yang dapat memberikan efek jera.
·   Untuk memberikan efek jera, Indonesia harus belajar dari Tiongkok. Hu Jintao, Presiden Tiongkok, memberlakukan sanksi hukuman mati bagi para pelaku korupsi. Sanksi seperti ini mesti segera diberlakukan di Indonesia untuk membungkam perasaan tidak bersalah yang diperlihatkan oleh para koruptor. Selain itu, Hu Jintao juga memberlakukan hukuman sosial dengan memajang wajah para koruptor di media sosial, baliho, dan tempat lainnya agar dibenci oleh masyarakat. Ini lah hukuman yang saya rasa sangat efektif.
·   Selain dari pemberlakuan hukuman mati dan hukuman sosial, para pelaku korupsi di Indonesia harus serta merta dicabut hak politiknya, tidak perlu ada pertimbangan tambahan. Jadi ia tidak boleh terlibat dalam penyelenggaraan negara lagi.
·      UU Tipikor perlu untuk mengatur pengurangan atau bahkan penghapusan sanksi bagi para justice collaborator. Hal ini untuk memberikan insentif atas keberaniannya mengungkap perkara korupsi.

3.    Membentuk suatu organisasi media khusus korupsi.
      Zaman kapitalisme, keuntungan dan modal adalah segalanya. Media, saat ini, terkesan lebih memburu rating penonton dibandingkan kualitas liputan. Tak ayal banyak media yang mulai kehilangan objektifitasnya. Bahkan, lebih parah lagi, media-media saat ini lebih fokus untuk meliput sesuatu yang sebenarnya tidak materiil yang berbau drama. Sebut saja kasus kopi sianida oleh Jessica.

      Khusus untuk perkara korupsi, saya merasa bahwa media belum optimal dalam menyajikan liputan kasus. Media terkesan hanya meliput kasus yang “besar” sehingga kasus-kasus yang lebih kecil luput dari pemberitaan. Bahkan, untuk media yang dimiliki atau dikendalikan oleh oknum tertentu, perkara korupsi yang melibatkan dirinya atau relasinya tidak diberitakan. Contohnya Abu Rizal Bakrie dan TV One. Padahal, peran media sangat diperlukan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Media memiliki fungsi sebagai sumber informasi masyarakat dan para pihak berkepentingan dalam memahami dan menentukan sikap dalam pencegahan dan pembasmian korupsi. Oleh karena itu, keakuratan, keandalan, dan kualitas liputan mutlak diperlukan.
   
      Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, diperlukan sebuah organisasi media yang independen, berkualitas, dan memiliki tugas pokok untuk meliput dan menginvestigasi kasus-kasus korupsi di negeri ini. Nantinya, media ini akan memberikan liputan dan siaran baik melaui televisi, koran, dan media sosial, khusus mengenai korupsi bekerja sama dengan KPK. Karena media ini tidak komersiil, maka untuk pembiayaan harus diberikan oleh negara. Tidak boleh dibiayai oleh pihak lain karena akan berpotensi melahirkan politik balas budi. Wujud dari media ini dapat berupa KPK TV atau dengan memberdayakan TVRI.

4.    Mengoptimalkan peran masyarakat.
      Pencegahan dan pembasmian korupsi bukanlah semata-mata tugas pemimpin beserta jajaran penyelenggara negara (KPK). Karena apabila hal itu hanya dibebankan kepadanya, tentu akan membutuhkan usaha yang sangat keras dan waktu yang lama. Oleh karena itu, seyogyanya masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mencegah dan memberantas korupsi.

   Dalam mengoptimalkan peran masyrakat ini, KPK perlu memberikan edukasi secara berkesinambungan mengenai korupsi (bentuk dan dampaknya) dan urgensi keterlibatan masyarakat. Hal itu dapat dilakukan melalui seminar dan media seperti yang telah saya uraikan sebelumnya. Bentuk dari pengoptimalan peran masyarakat dapat berupa sarana pengaduan korupsi bagi masyarakat yang ingin melapor. Sebagai insentif, masyarakat yang laporannya benar adanya, dapat diberikan insentif baik berupa sertifikat tanda jasa, dan lain-lain. Selain itu, KPK dapat menginisiasi terbentuknya LSM anti korupsi di masyarakat. LSM ini akan berfungsi sebagai mitra KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran masyarakat, selain melaporkan dugaan korupsi, juga sangat diperlukan dalam mengawal dan melindungi KPK yang mana saat ini banyak pihak yang berusaha mengancam KPK dan bahkan membahayakan penyidik KPK dalam menjalankan tugas serta melemahkan KPK secara hukum melaui upaya revisi UU KPK yang tengah berlangsung saat ini.

5.    Corruption Amnesty sebagai Policy of the Last Effort.
      Corruption Amnesty sebagai Policy of the Last Effort merupakan kebijakan yang menurut saya patut dicoba sebagai pilihan terakhir. Maksud dari pilihan terakhir adalah apabila praktik korupsi tetap tak bisa dicegah dan dibasmi walaupun telah dilaksanakan berbagai kebijakan dengan optimal. Corruption amnesty memiliki konsep yang hampir sama dengan tax amnesty yang baru saja diterapkan di Indonesia. Dalam tax amnesty, sanksi pidana terkait perpajakan  dihapuskan apabila membayar uang tebusan. Namun, dalam corruption amnesty, sanki-sanksi baik pidana, denda, dan lain-lain dapat dihapus seluruhnya atau dihapus sebagian bergantung kepada ketentuan berikut ini.
·    Untuk perkara korupsi yang besar dan strategis bagi negara, seperti kasus E-KTP, sanksi pidana dan denda akan dihapus apabila individu yang terlibat di dalamnya mengembalikan semua uang hasil korupsinya dan melaporkan semua pihak-pihak yang terlibat dan dapat menyajikan bukti yang kuat keterlibatan pihak tersebut sehingga mereka dapat dijerat. Tetapi, diberlakukan pencabutan hak politik. Hal ini hanya berlaku bagi pelapor pertama..
·  Untuk perkara korupsi skala lainnya, diberlakukan pengurangan sanksi, pidana maupun denda, dengan syarat tetap harus mengembalikan uang hasil korupsi. Pengurangan sanksi tersebut atas dasar keakuratan dan keandalan laporan serta bukti. Untuk pencabutan hak politik, dapat dipertimbangkan.

Agar pelaksaanan program ini dapat efektif, maka diperlukan momen dan sanksi yang tegas. Sama halnya denga tax amnesty yang memanfaatkan AEOI untuk “menakut-nakuti” wajib pajak, corruption amnesty juga dapat memanfaatkan data AEOI dari otoritas pajak dan data dalam negeri dari perbankan dan keuangan lainnya yang dapat menjadi sumber data analisis tindak pidana korupsi. Memang KPK memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut sesuai dengan kewenanangannya yang diatur dalam pasal 12 UU KPK. Dari segi sanksi, sama halnya dengan tax amnesty, akan diberikan jauh lebih berat apabila tidak mengikuti program corruption amnesty. Sanksi ini dapat berupa penjatuhan sanski pidana dan denda 2 kali lipat dari normal bahkan hingga hukuman mati, khusus untuk kasus korupsi besar dan strategis bagi negara.

6.    Memulai perubahan dari diri sendiri.
      Korupsi adalah sebuah permasalahan moral seseorang. Walaupun saya telah menjelaskan ide-ide untuk mencegah dan memberantas korupsi, tidak akan berbuah hasil apabila moral seseorang telah rusak. Moral yang rusak ini dapat menimbulkan perilaku negatif, seperti ketamakan. Ketamakan inilah “mesin” dari perilaku korupsi, selain dari kebutuhan.

      Cara satu-satunya untuk mencegah rusaknya moral dalam ranah korupsi adalah membiasakan diri kita untuk berperilaku positif, seperti selalu bersyukur, berintegritas, dan profesional. Dengan membiasakan diri, maka perilaku positif tersebut dapat menjadi kebiasaan dan kebiasaan tersebut menjadi sebuah budaya diri. Budaya diri yang positif ini dapat kita tularkan ke dalam lingkungan pergaulan kita sehingga menjadi budaya sekitar. Apabila menular lagi ke lingkungan yang lebih luas, diharapkan dapat menjadi budaya nasional. Ada pepatah yang mengatakan “Jika kau tidak menyukai sesuatu, ubahlah hal tersebut. Jika kau tidak bisa bisa, ubahlah sikapmu dan jangan mengeluh lagi”.


DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
http://www.anakregular.com/2015/05/7-presiden-pembasmi-korupsi-yang.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54db4fff7d855/ini-lima-jurus-kpk-hong-kong-sukses-berantas-korupsi 2015
http://nasional.kompas.com/read/2016/11/28/19085981/pendanaan.partai.politik 
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ff5990b48af5/rekomendasi-eks-pimpinan-kpk-hong-kong-diabaikan
http://m.rmol.co/read/2017/03/04/282488/KPK-Tahu-Ada-Upaya-Pelemahan-Lewat-Revisi-UU-KPK-

Minggu, 16 Oktober 2016

Manajemen Properti dan Penilaian

Selamat malam kawan. Udah satu bulan lebih ga posting tulisan ni, rasanya gatal juga wkwk. okelahh, tulisan ini merupakan salah satu tugas mata kuliah saya di semester V ini. Tugasnya itu diminta menganalisa hubungan antara manajemen properti dengan penilaian. Apakah hubungannya baik-baik saja atau tidak, simak tulisan saya berikut ini.....


Manajemen properti, secara sederhana, diartikan sebagai penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam pengelolaan properti. Properti yang dimaksud disini adalah real estate (tanah dan/atau bangunan). Prinsip-prinsip manajemen yang diterapkan tersebut meliputi planningorganizing, leading, coordinating dan controlling. Kelima prinsip tersebut diterapkan dengan tujuan utama yaitu optimalisasi nilai dari properti yang dikelola. Oleh karena itu, kehadiran dan keberadaan manajemen properti diperlukan oleh perorangan maupun badan hukum, baik sektor privat maupun publik yang memiliki dan/atau menggunakan properti dalam jumlah keci maupun besar, baik dalam hal kuantitas maupun nominal uangnya. Jasa manajemen properti dapat diberikan untuk lingkup kerja yang luas maupun terbatas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemiliknya.
Berbicara tentang nilai dari suatu properti, maka umumnya akan terbersit dalam pikiran kita tentang apa definisi dari nilai properti dan bagaimana nilai itu didapatkan. Secara harfiah, nilai diartikan sebagai manfaat ekonomis yang terdapat dalam sebuah objek, yang dalam hal ini adalah properti. Dalam rangka menentukan nilai yang dimaksud tersebut, terdapat sebuah bidang keilmuan yang secara khusus mendalami tentang hal ini, dan itu adalah ilmu penilaian. Ilmu penilaian tumbuh dan berkembang seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi di masyarakat, meningkatnya aktivitas tersebut ditandai dengan semakin beragamnya bentuk-bentuk investasi yang kian beragam. Tentunya dibutuhkan sebuah dasar yang analitis dan teoritis dalam memilih dan memilah instrumen investasi yang menguntungkan. Inilah salah satu fungsi penting ilmu penilaian ini.
Apabila kita coba telisik lebih dalam, kita dapat melihat dan memahami adanya keterkaitan antara manajemen properti dan ilmu penilaian. Kedua disiplin ilmu sama-sama menekankan pada nilai dari properti. Secara garis besarnya, saya berpendapat bahwa ilmu manajemen properti fokus terhadap bagaimana mempertahankan atau bahkan meningkatkan nilai properti yang dikelolanya, dan penilaian fokus pada bagaimana memberikan estimasi nilai yang kredibel melalui serangkaian proses yang sesuai dan tepat. Keterkaitan keduanya, secara lebih detail, terdapat pada hal-hal berikut ini :

1.    Kertekaitan dalam hal tujuan
Walaupun ruang lingkup properti manajemen properti sangat luas, namun secara umum, tujuan manajemen properti dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu :
.    Mengelola properti sebagai investasi/ bisnis.
Ini merupakan tugas yang memerlukan keahlian khusus karena mengelola properti sebagai investasi sangat terkait dengan faktor-faktor eksternal seperti peraturan pemerintah, kompetisi, supply & demand, selera konsumen dan lain sebagainya. Tujuan utamanya adalah memaksimalkan pendapatan dan modal dari investor. Apabila kita kaitkan dengan penilaian, kita dapat melihat hubungannya pada usahanya dalam memaksimalkan pendapatan dan modal dari investor, karena pada dasarnya penilai juga bertugas melakukan hal demikian.
Dalam melakukan penilaian, ada salah satu analisis yang harus dilakukan penilai terlebih dahulu sebelum melangkah ke proses selanjutnya, yaitu analisa tentang kegunaan tertinggi dan terbaik dari suatu nilai properti (Highest & Best Use Analysis).  Tujuan dari analisis ini adalah, seperti yang tercermin pada namanya, untuk menentukan kegunaan tertinggi dan terbaik dalam rangka memaksimalkan nilai properti. Terkadang, analisis ini digunakan oleh penilai dalam melakukan penilaian terhadap lahan kosong atau lahan dengan bangunan yang dimana tidak terdapat data pembanding yang sesuai untuk melakukan penilaian dengan pendekatan data pasar dan biaya, sehingga cara satu-satunya yang tersisa adalah dengan memproyeksikan aliran pendapatan dari objek tersebut jika diusahakan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip HBU diantaranya physically possible, financially feasible, legally permissible dan maximally productive.
b.    Mengelola dan melaksanakan aspek fisik lingkungan properti sehingga tercapai hasil optimal secara efektif dan efisien.
Tujuannya adalah untuk menghambat laju penyusutan atau terjadinya kerusakan pada properti maupun lingkungan sekitarnya. Dalam arti bahwa manajer properti bertugas memelihara, menjaga bahkan meningkatkan nilai dari properti dengan memberi perhatian terhadap umur efektif dan ekonomis dari bangunan, baik itu bangunan utama maupun pendukung, dan segala fasilitas penunjangnya. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan metode pemeliharaan bangunan dengan tepat dan rutin, melakukan renovasi bila diperlukan, penambahan fasilitas, dan lain sebagainya. 
Dalam melakukan penilaian, penilai juga melakukan hal yang sama. Penilai dituntut mampu untuk memperkirakan umur efektif dan ekonomis dari properti (khususnya bangunan). Penentuan umur yang tepat (tidak 100% benar, namun mendekati benar), menentukan penyusutan yang akan diberikan dalam rangka mengestimasi nilai dari properti. Ini biasanya diperlukan apabila penilai menggunakan pendekatan biaya. Hubungannya dengan manajemen properti adalah penilai, dalam melakukan tugasnya, diharapkan dapat memahami apa yang dilakukan manajemen properti dalam rangka memelihara properti yang dikelolanya. Setiap penerapan atau prosedur pemeliharaan yang dilakukan oleh manajer properti dapat dianalisis oleh penilai untuk menetukan penyesuaian penyusutan. Dalam hal ini pengetahuan teknik sipil diperlukan.

2.   Keterkaitan dalam proses
Keterkaitan dalam dalam proses menekankan pada keterkaitan langkah-langkah atau strategi yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan seperti yang diuraikan sebelumnya, diantaranya :
a.    Analisis aspek pasar dan investasi.
Dalam manajemen properti, analisis aspek pasar memberikan arahan tentang produk pemanfaatan aset (tanah dan/atau bangunan) yang paling marketable sesuai dengan kondisi pasar saat ini dan yang akan datang. Manajer properti juga penilai, dalam hal ini, perlu memahami karakteristik dari pasar properti itu sendiri yang diantaranya :
-       Produk yang berbeda/unik. Uni dari segi fisik, proses transfer kepemilikan yang melibatkan berbagai prosedur-prosedur yang memakan waktu dan biaya, dan ada regulasi khusus dari pemerintah berkenaan dengan properti.
-       Sedikit pembeli dan penjual untuk tiap-tiap transaksi atau segmen pasar.
-  Daya saing ditentukan secara subjektif. Karena para peserta pasar bertindak atas dasar perspektif masing-masing. Mereka memiliki pandangan tersendiri terhadap manfaat dari suatu properti.
-       Relatif kurang informasi.
-   Perilaku yang terkadang tidak rasional. Karena pembeli dan penjual bereaksi terhadap tekanan-tekanan tertentu yang mendesak, maka cenderung bertindak atas dasar pertimbangan yang tidak rasional.
-  Terlokalisir. Cenderung dibatasi dalam suatu kawasan geografis yang relatif sempit dan ditentukan oleh karakteristik lokasi. Bahkan diatur oleh pemerintah melaui aturan zoning wilayah.
Berdasarkan karaktersitik-karakteristik tersebut manajer properti melakukan analisis. Hasil analisa pasar ini kemudian dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan formula- formula untuk menguji kelayakan investasi seperti IRR, NPV, payback period, dan indikator lainnya. Untuk penilai, analisis pasar dan investasi digunakan sebagai dasar dalam setiap asumsi yang digunakan dalam melakukan penilaian. Asumsi ini bertujuan untuk mengakomodir kekurangan atau tidak tersedianya data dari properti objek penilaian. Contohnya, apabila penilai dihadapkan pada penilaian properti hotel yang harga sewanya tidak diketahui, maka penilai dapat melakukan riset pasar untuk menentukan harga sewa wajar dari hotel tersebut, untuk lebih detailnya ada pada ketentuan pendekatan perbandingan data pasar. Juga, analsis pasar dan investasi digunakan sebagai bahan analisis kegunaan tertinggi dan terbaik (HBU) dari suatu properti.
Pada dasarnya, manajer properti dan penilai pastinya akan melakukan analisis pasar dan investasi dalam melaksanakan tugasnya. Data-data yang dikumpulkan keduanya umumnya sama, seperti data-data peraturan lokal, demografi penduduk untuk menentukan target dan tarif, dan lain-lain. Yang dapat membedakan keduanya adalah tujuan dari penggunaan data hasil analisis dan riset pasar itu sendiri.
b.    Keterkaitan dalam hal kontrak manajemen dan kontrak sewa.
Dalam dunia manajemen properti, kontrak merupakan formalitas hubungan antara pemilik properti dengan manajer properti dan manajer properti dengan penyewa bangunan, dalam hal bangunan disewakan. Dalam kontrak ini biasanya diatur secara tegas  hak dan kewajiban antara dua pihak seperti yang telah disebutkan diatas. Perumusan kontrak yang baik dapat mempengaruhi performa manajer properti dalam mengelola propertinya dan pemilik dapat mendapat return yang diinginkannya serta penyewa dapat memanfaatkan dengan baik unit yang disewanya.
Bagi penilai, kontrak dari properti yang akan dinilai merupakan salah satu sumber data yang penting. Dalam melakukan penilaian, khususnya dengan menggunakan pendekatan pendapatan,  penilai harus mengetahui pendapatan-pendapatan dari properti (yang menjadi hak) dan juga biaya-biaya yang menjadi tanggung jawab dalam pengelolaannya (yang menjadi kewajiban) sehingga dapat dibuat sebuah proyeksi aliran pendapatan dari properti itu. Sebagai contoh, dalam kontrak disebutkan bahwa biaya PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) dari unit apartemen yang disewakan menjadi beban penyewa, maka dalam proyeksi arus kas dari bangunan apartemen, biaya PBB tidak dimasukkan.
c.       Keterkaitan dalam hal optimalisasi aset.
Dalam hal ini manajemen properti perlu mengetahui sudah sejauh mana langkah dan strategi yang diterapkan mempengaruhi nilai dari aset yang dikelolanya. Untuk mengetahui hal tersebut, peru dilakukan penilaian terhadap aset yang dimaksud. Dari hasil penilaian ini akan diketahui tingkat optimalisasi penggunaan aset dengan hasil atau manfaat yang diperoleh dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan. Dengan kata lain, manajer properti perlu memerlukan penilaian dalam prosesnya, dan untuk memerlukan penilaian diperlukan seseorang berhak secara hukum untuk memberikan opini nilai, itu adalah penilai. Sebenarnya bisa saja manajer properti melakukan penilain sendiri, namun hasilnya tidak akan diterima oleh umum (karena tidak punya hak). Juga, apabila melakukan penilaian sendiri, maka manajer properti harus memiliki dalam menerapkan metode-metode penilaian yang sesuai dan logis. Hal-hal inilah yang menjadi keterkaitan antara keduanya (manajer properti dan penilai)

KESIMPULAN

Dari ulasan-ulasan yang telah dipaparkan sebelumnya tentang “Keterkaitan Antara Manajemen Properti Dan Penilaian”, dapat diambil kesimpulan bahwa menurut saya, sebagai penulis, keterkaitan antara kedua bidang ilmu dan pekerjaan ini terletak pada 2 (dua) poin utama yaitu pada tujuan dan proses. Keterkaitan dalam hal tujuan berkenaan dengan tujuan masing-masing disiplin ilmu dan keterkaitan dalam hal proses berkenaan dengan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam rangka mencapai tujuan.
Keterkaitan dalam hal tujuan yang dimaksud adalah keterkaitan dalam hal tujuan dari manajemen properti itu sendiri yang terinci dalam 2 (dua poin) yaitu :
-  mengelola properti sebagai bisnis/investasi, dan
-  mengelola dan melaksanakan aspek fisik lingkungan properti sehingga tercapai hasil optimal secara efektif dan efisien.
   Dalam tujuan mengelola properti sebagai bisnis/investasi, manajer properti berusaha untuk menetapkan suatu strategi, kebijakan dan program yang dapat mengasilkan optimalisasi properti yang dikelolanya. Disisi lain, penilai juga melakukan hal yang sama dalam melakukan penilaian. Penilai perlu melakukan peninjauan objek dengan melakukan analisis kegunaan tertinggi dan terbaik dari properti objek untuk menentukan kegunaan optimal dari properti tersebut. Dalam hal mengelola dan melaksanakan aspek fisik lingkungan properti sehingga tercapai hasil optimal secara efektif dan efisien, manajemen properti berusaha untuk meminimalkan penyusutan bangunan melalui langkah-langkah tertentu. Disisi lain, penilai dituntu mampu untuk mengetahui penyusutan dari bangunan untuk menentukan nilainya. Keterkaitan dalam hal proses terinci dalam 3 (tiga) poin, yaitu :
-  dalam hal analisis aspek pasar dan investasi,
-  dalam hal kontrak manajemen, dan
-  dalam hal optimalisasi aset.
Antara manajer properti dan penilai sama-sama perlu melakukan analisis pasar dan investasi berkenaan dengan tujuan. Juga, manajer properti perlu membuat kontrak manajemen untuk formalisasi hubungannya dengan pemilik dan penyewa, di lain pihak, penilai perlu mengetahui rincian kontrak sebagai data dalam melakukan penilaian. Dan dalam hal optimalisasi aset, manajer properti perlu untuk melakukan penilaian terhadap aset yang dikelolanya dalam rangka mengetahui tingkat penggunaan optimal dari aset tersebut.
Sebagai penutup, menurut saya antara ilmu penilaian dengan manajemen properti adalah dua disiplin ilmu yang tidak terpisahkan. Keduanya dapat dikatakan lahir dari suatu alasan yang sama, yaitu dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia dalam pasar properti. Kemudian keduanya terpisah dan dibedakan karena perbedaan tujuannya. Namun, dari segi konsep dan dasar pemikiran, keduanya dapat dikatakan sama. Manajemen properti, dalam melaksanakan tugasnya, perlu memahami dan menerapkan dasar-dasar penilaian. Di lain pihak, penilai dalam melaksanakan tugas penilaian, juga perlu memahami tentang dasar-dasar dan konsep dari manajemen properti, karena kedua bidang ilmu fokus terhadap 2 (dua) hal utama yaitu properti dan nilai.

Rabu, 31 Agustus 2016

Highest and Best Use

        

        Selamat malam sahabat, kali ini aku mau bahas something important dalam proses penilaian. Itu adalah analisis Highest and Best Use, biasa disebut HBU. Kebetulan aku dapat tugas kuliah untuk bahas tentang yang satu ini di mata kuliah Teori Dasar Penilaian. Kalo kita simak kata-kata dari gambar diatas "Finding the highest value in every acre", erat sekali kaitannya dengan analisis HBU. Highest Value merupakan tujuan utama dari setiap proses perencanaan pengembangan suatu kawasan ,oleh para developer umumnya, juga penting bagi penilai untuk menentukan apakah benar nilai tertinggi dari objek penilaian sudah tercapai atau belum. Tercapainya nilai tertinggi, oleh penilai, akan berpengaruh pada metode penilaian yang akan akan digunakan nantinya beserta penyesuaian-penyesuaian yang akan diberikan. Perlu diketahui bahwa, setiap kawasan itu memiliki karakteristik masing-masing, karena adanya karakteristik tersebut tentunya potensi-potensi dari tiap kawasan akan berbeda. Potensi berbeda maka jenis pengembangan yang akan dilakukan, prosesnya dan lain sebagainya pun akan berbeda. Itulah yang  disebut sebagai analisa HBU. Berikut lebih lengkapnya :


A.      Definisi

Kegunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) dapat didefinisikan sebagai “The reasonably probable and legal use of vacant land or an improved property, which is phisicallt possible , appropriately supported, financially feasible and that results in the highest value” atau dapat diartikan sebagai penggunaan yang paling memungkinkan dan diijinkan dari suatu tanah kosong atau tanah yang sudah dibangun, yang mana secara fisik memungkinkan, didukung/ dibenarkan oleh peraturan, layak secara keuangan dan menghasilkan nilai tertinggi.
Kegunaan tertinggi dan terbaik dari suatu bidang tanah tidak tergantung dari pada analisis subyketif dari pemilik properti, pengembang atau penilai sekalipun, tetapi dibentuk oleh kekuatan persaingan pasar dimana properti subyek terletak. Kekuatan pasar ini akan membentuk nilai pasar. Data umum yang dikumpulkan dan dianalisis untuk mengestimasi nilai properti  juga digunakan oleh penilai untuk memformulasikan sebuah opini dari kegunaan tertinggi dan terbaik dari suatu properti pada tanggal penilaian tertentu.

B.       Kegunaan Tertinggi dan Terbaik Dari Tanah Kosong/ Tanah Yang Dianggap Kosong

Kegunaan tertinggi dan terbaik  dari tanah atau tapak yang dianggap kosong adalah dengan mengasumsikan bahwa tanah adalah kosong atau dapat dibuat kosong dengan melaui pembongkaran bangunan. Dengan asumsi demikian, maka kegunaan yang menciptakan nilai dalam suatu pasar properti dapat teridentifikasi dan penilai dapat menilai untuk memilih properti pembanding serta mengestimasi nilai.
Dalam mengidentifikasi HBU dari tapak, penilai harus dengan cermat dan rasional dalam mengestimasikan apakah akan ada suatu perubahan dalam waktu dekat atau tidak.  Apabila dalam jangka pendek diperkirakan akan ada perubahan, maka kegunaan tertinggi dan terbaik/ HBU dari tapak saat ini adalah dianggap sebagai interim use atau kegunaan sementara dengan potensi HBU di masa yang akan datang tergantung dari arah kekuatan pasar.
Jika sebuah pengembangan diperlukan untuk mendapatkan HBU dari suatu tapak, penilai harus menentukan tipe dan karakteristik dari pengembangan yang memungkinkan untuk dibangun.

C.      Kegunaan Tertinggi dan Terbaik Dari Properti Yang Telah Dibangun

Kegunaaan tertinggi dan terbaik dari sebuah properti yang telah terbangun adalah terkait dengan kegunaan yang seharusnya ada pada properti tersebut sejalan dengan perkembangannya. Misalnya apakah sebuah bangunan hotel yang telah berumur 30 tahun tetap dipertahankan seperti sediakala atau perlu direnovasi, dikembangkan  atau sebagian dibongkar mengikuti tren yang berlaku saat ini ? atau apakah memungkinkan untuk diganti jenis dan intensitas untuk penggunaan yang lain. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada dua hal yang menjadi tolak ukur pelaksanaanya yaitu biaya/ cost dan pendapatan/ return. Apabila biaya yang mesti dikeluarkan lebih besar dari return yang dihasilkan, maka dapat dikatakan bahwa kegunaan sebelumnya merupakan HBU dari properti, begitu juga sebaliknya.

D.      Tujuan Analisis Kegunaan Tertinggi dan Terbaik

1.    Kegunaan tertinggi dan terbaik untuk tanah kosong

Nilai tanah biasanya diestimasi  sebagaimana keadaan tanah  jika tanah  dalam keadaan kosong, maka dengan alasan yang jelas seorang penilai dapat menentukan nilai tanah sebagaimana keadaan nyata di lapangan. Namun jika tanah bukan berupa tanah kosong, maka nilai tanah tergantung dari kegunaan yang dapat dibuat diatasnya. Kegunaan tertinggi dan terbaik untuk tanah kosong harus memperhatikan hubungan antara kegunaan yang ada pada saat ini dengan semua kegunaan potensialnya.

2.    Kegunaan tertinggi dan terbaik untuk properti yang telah terbangun

Ada dua alasan untuk menganalisis kegunaan tertingi dan terbaik terhadap properti yang telah terbangun, yaitu :
· Mengidentifikasi kegunaan dari properti yang diharapkan dapat menghasilkan tingkat pengembalian tertinggi dari setiap rupiah yang diinvestasikan.
·    Mengestimasi kegunaan tertinggi dan terbaik dari sebuah properti yang telah terbangun adalah untuk membantu dalam mengidentifikasi properti pembanding.

E.       Kriteria Dalam Analisis Kegunaan Tertinggi dan Terbaik



Terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi dalam menganalisis kegunaan tertinggi dan terbaik dari suatu properti, yaitu :

1.    Memungkina secara fisik (phisically possible)
Kriteria pertama yang harus dipenuhi dalam menganalisis kegunaan tertinggi dan terbaik dari suatu properti adalah kelayakan secara fisik. Ukuran, bentuk tanah, luas, ketinggian dan kontur tanah adalah berpengaruh terhadap kegunaan yang dapat dilakukan/ dibangun di atasnya. Bentuk tanah yang tidak teratur akan menyebabkan biaya yang lebih besar dalam membangunnya daripada tanah yang mempunyai bentuk teratur dalam kawasan yang sama.

2.    Diijinkan oleh peraturan yang ada (legally permissible)
Dalam setiap kasus seorang penilai harus memastikan kegunaan-kegunaan yang diijinkan oleh peraturan. Batasan-batasan tertentu (private restriction), zoning, peraturan-peraturan bangunan (building codes), kontrol-kontrol terhadap benda-benda sejarah, dan peraturan-peraturan lingkungan harus diinvestigasi, sebab faktor-faktor tersebut mungkin saja mempengaruhi potensial kegunaan tertinggi dan terbaik dari suatu properti.

3.    Layak secara keuangan (financially feasible)
Untuk menentukan kelayakan keuangan, anda harus mengestimasi pendapatan kotor yang akan diterima (future gross income) yang diekspektasikan/ dijangkakan dari setiap potensial kegunaan tertinggi dan terbaik. Dalam menganalisis kelayakan keuangan, tingkat kekosongan, collection losses dan biaya operasi perlu dikurangkan dari setiap pendapatan kotor (gross income) untuk mendapatkan biaya bersih operasi (net operating income atau NOI). Tingkat pengembalian (rate of return) keatas modal yang diinvestasikan dapat digunakan untuk melakukan penghitungan bagi setiap kegunaan.

4.    Produktifitas  maksimal (maximally productive)

Dari kegunaan-kegunaan yang layak secara keuangan, maka kegunaan yang menghasilkan harga tertinggi / nilai tertinggi, yaitu yang konsisten dengan tingkat pengembaliannya (rate of return), adalah kegunaan tertinggi dan terbaik. Untuk menentukan kegunaan tertinggi dan terbaik atas tanah yang dianggap kosong seringkali digunakan tingkat pengembalian yang sama untuk mengkapitalisasi aliran pendapatan dari berbagai kegunaan yang berbeda kepada masing-masing nilainya.
Kegunaan yang menghasilkan nilai tertinggi adalah kegunaan tertinggi dan terbaik untuk tanah. Kegunaan potensial tertinggi dan terbaik dari suatu tanah/ tapak biasanya adalah kegunaan tanah dalam jangka panjang.
Untuk menganalisis kelayakan dalam hal finansial dan juga untuk memilih kegunaan yang memberikan nilai yang maksimal, maka beberapa alat analisis atau tolok ukur yang sering digunakan adalah :
·         Net present value,
·         Internal rate of return,
·         Return on investment,
·         Return on equity,
·         Payback period, dsb.
Alternatif kegunaan yang menghasilkan tingkat pengembalian investasi yang positif dan tertinggi adalah alternatif yang memenuhi kriteria kegunaan yang terbaik dan tertinggi.

5.    Situasi-situasi khusus dalam analisis HBU

i.      Single-use situation
Kegunaan tertinggi dan terbaik yang mungkin tidak seperti obyek/ properti biasanya atau memiliki fungsi/ kegunaan yang unik seperti museum, cagar budaya, dll. Untuk situasi ini nilai tanahnya didasarkan atas kegunaannya tersebut dan bukan kegunaan lain pada umumnya.

ii.    Interim use
Kegunaan sementara atau interim use dari sebidang tanah kosong atau properti yang telah dikembangkan adalah kegunaan tertinggi dan terbaik yang diantisipasi untuk berubah dalam jangka pendek.

iii.  Uses that are not highest and best
Beberapa bangunan dan pengembangan lain yang ada mungkin tidak mencerminkan kegunaan tertinggi dan terbaik dari keadaan tapaknya seandainya tanah kosong. HBU umumnya mempunyai kategori yang sama dengan kegunaan saat ini.

iv.  Legally nonconforming use
A legally nonconforming use adalah kegunaan yang sah secara hukum untuk dibuat dan dipertahankan tetapi tidak sesuai dengan  peraturan penggunaan tanah di kawasan di mana properti tersebut berlokasi/ berkedudukan. Kegunaan sementara ini seringkali muncul akibat perubahan zoning yang mana dapat menyebabkan underimproved atau overimproved suatu properti.

v.    Multiple use
Kegunaan tertinggi dan terbaik mungkin melibatkan lebih dari satu kegunaan tertentu untuk sebuah bidang tanah atau sebuah bangunan.

vi.  Special purpose use
Kegunaan tertinggi dan terbaik untuk properti jenis ini adalah kegunaannya pada saat ini dikarenakan terbatasnya kegunaan lain yang dimiliki oleh properti tersebut.

vii.      Speculative uses
Investadi pada kegunaan spekulatif tercipta ketika pembeli mempunyai antisipasi terhadap kenaikan nilai meskipun HBU pada masa yang akan datang secar spesifik tidak dapat diprediksi, namun alternatif logis biasanya dipakai untuk mengidentifikasi kegunaannya.

viii.   Excess land
Merupakan tanah yang mungkin tidak diperlukan untuk mendukung kegunaan yang ada atau untuk mengakomodasi HBU yang primer dari sebidang tanah kosong atau tanah yang dianggap kosong. Excess land ini seharusnya dapat teridentifikasi secara jelas dengan melakukan perbandingan terhadap properti-properti sejenis yang berdekatan atau berada pada kawasan yang sama.

Semoga bermanfaat....:)